Jakarta, CNN Indonesia -- Status Kota
Yerusalem menyita perhatian internasional selama setahun terakhir lantaran kembali 'menyulut' konflik
Israel-
Palestina yang telah berlangsung lebih dari setengah abad lamanya.
Semua berawal dari keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 7 Desember 2017 untuk memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Tak hanya dari negara Arab dan negara Muslim, sekutu-sekutu AS turut mengecam langkah kontroversial Trump tersebut, yang dianggap mengancam prospek perdamaian Israel-Palestina bahkan memicu gerakan "intifada" ketiga.
Yerusalem selama ini merupakan salah satu sumber konflik Israel-Palestina, di mana kedua belah pihak sama-sama mengklaim kota suci bagi tiga agama itu sebagai ibu kota mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ini juga dianggap bertentangan dengan hukum dan resolusi internasional yang ada.
Meski begitu, Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu.
 Donald Trump berkeras memindahkan kantro perwakilan AS untuk Israel ke Yerusalem dengan membuka kantor kedutaan sementara pada 14 Mei lalu. (Reuters/Ronen Zvulun) |
Jika dilihat dari sisi kedaulatan, AS berhak menentukan kebijakan luar negerinya, termasuk merelokasi kedubes untuk Israel ke Yerusalem.
Selain itu, langkah kontroversial itu dilakukan Trump semata-mata demi mengimplementasikan Undang-Undang tentang relokasi kedutaan AS untuk Israel ke Yerusalem yang disahkan Kongres AS pada 1995 lalu.
Namun, para pendahulu Trump selalu menggunakan hak perogatifnya untuk membuat surat penangguhan terkait relokasi kedutaan tersebut dengan alasan menghindari agar konflik Timur Tengah tidak memburuk.
Langkah kontroversial AS ini menjadi "inspirasi" bagi sejumlah negara lain. Sejak AS merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem, beberapa negara mengikuti langkah serupa.
Guatemala mengumumkan akan merelokasi kedutaannya untuk Israel ke Yerusalem pada 16 Mei 2018, dua hari setelah AS membuka misi diplomatiknya di kota tersebut.
[Gambas:Video CNN]Paraguay juga sempat mengumumkan keputusan serupa pada 22 Mei lalu, namun membatalkannya empat bulan kemudian.
Presiden Brasil yang baru terpilih, Jair Bolsonaro, juga menyatakan keinginan untuk merelokasi kedutaan besar negaranya untuk Israel ke Yerusalem sesuai janji kampanyenya. Meski begitu, sejumlah pihak menganggap rencana tersebut tak akan benar-benar terjadi.
Pada Oktober lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga mengumumkan bahwa kabinetnya tengah mempertimbangkan rencana merelokasi kedutaan Negeri Kanguru untuk Israel ke Yerusalem.
Pengumuman ini sempat membuat relasi RI dan Australia panas Selain menyalahi resolusi internasional terkait status quo Yerusalem, Indonesia menilai pemindahan kedutaan untuk Israel ke kota tersebut bisa memperburuk peluang proses damai Palestina-Israel melalui solusi dua negara.
Tak lama setelah Morrison mengumumkan rencana kontroversialnya, Kementerian Luar Negeri RI langsung mengeluarkan pernyataan kecaman hingga memanggil Duta Besar Australia di Jakarta dua kali.
Jakarta bahkan mengancam rencana Canberra ini bisa mempengaruhi proses penyelesaian perjanjian perdagangan bilateral bernilai US$11,4 miliar (sekitar Rp17,3 triliun).
Kesepakatan itu tertuang dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komperhensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang telah digodok selama lebih dari 1 dekade itu.
Semula, perjanjian itu berencana ditandatangani Morrison dan Presiden Joko Widodo pada akhir tahun ini. Rencana itu diduga kuat akan meleset sebab sejak isu relokasi kedutaan ke Yerusalem mencuat.
Morrison akhirnya mengumumkan bahwa Asutralia resmi mengakui Yerusalem Barat, bukan Yerusalem Timur, sebagai Ibu Kota Israel pada pertengahan Desember lalu, meski menyatakan belum akan merelokasi kedutaannya sampai status kota tersebut jelas.
Setelah keputusan tersebut diumumkan, Kemlu mengeluarkan pernyataan bahwa RI mencatat komitmen Australia akan solusi dua negara dan mendesak Canberra untuk segera mengakui Palestina sebagai negara.
Meski bukan Yerusalem Timur, sejumlah pengamat menganggap keputusan itu hanya untuk mencari aman dan hubungan RI-Australia tetap terancam.
“Selama ini hubungan RI-Australia bisa dibilang naik turun namun kedua negara cukup baik dalam menjaganya. Namun, tak dipungkiri keputusan PM Morrison soal Yerusalem ini membawa relasi kedua negara pada titik rendah yang baru,” ucap Caitlin Byrne, profesor sekaligus Direktur Griffith Asia Institute dari Griffith University, kepada
CNNIndonesia.com.Byrne menuturkan publik Australia bahkan merasa terkejut dengan keputusan Morrison terkait Yerusalem tersebut. Dia menilai keputusan Canberra soal relokasi kedutaan ke Yerusalem bukan lah suatu kebijakan prioritas.
“Kami merasa cukup terkejut dengan langkah yang diambil PM Morrison soal ini dan cukup khawatir bagaimana keputusan ini bisa mempengaruhi relasi Australia dengan Indonesia," ucap Byrne.
Meski begitu, Bryne berharap keputusan Australia tidak mempengaruhi Indonesia untuk terus melanjutkan dan merampungkan perjanjian IA-CEPA.
“Karena finalisasi IA-CEPA bergantung dari pihak Indonesia, karena saya melihat keputusan soal Yerusalem tidak mengubah antusiasme Australia terkait kesepakatan kerja sama perdagangan bebas ini,” tuturnya.
PR bagi IndonesiaIsu Palestina tetap akan menjadi tugas besar bagi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Di satu sisi, Indonesia memiliki kewajiban memperjuangkan kemerdekaan Palestina sesuai dengan amant konstitusi negara.
Namun, di sisi lain, jika ada negara-negara lain yang mengikuti langkah kontroversial AS dan Australia, Indonesia tetap tak bisa berbuat banyak lantaran setiap negara memiliki kedaulatan masing-masing untuk menentukan politik luar negerinya.
[Gambas:Video CNN]Konflik Israel-Palestina yang sangat sensitif di mata rakyat Indonesia bahkan bisa dijadikan alat politik dalam negeri jika pemerintah tak bisa menangani isu ini dengan bijak.
Dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai isu Palestina juga berpotensi dijadikan alat penggiring opini publik di tengah tahun politik saat ini menjelang pemilihan presiden 2019 mendatang.
“Bisa saja isu ini digunakan sejumlah kelompok untuk mencari panggung dan menekan pemerintah atau oposisi jelang pilpres,” kata Teuku.