Tak lama setelah Morrison mengumumkan rencana kontroversialnya, Kementerian Luar Negeri RI langsung mengeluarkan pernyataan kecaman hingga memanggil Duta Besar Australia di Jakarta dua kali.
Jakarta bahkan mengancam rencana Canberra ini bisa mempengaruhi proses penyelesaian perjanjian perdagangan bilateral bernilai US$11,4 miliar (sekitar Rp17,3 triliun).
Kesepakatan itu tertuang dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komperhensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang telah digodok selama lebih dari 1 dekade itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semula, perjanjian itu berencana ditandatangani Morrison dan Presiden Joko Widodo pada akhir tahun ini. Rencana itu diduga kuat akan meleset sebab sejak isu relokasi kedutaan ke Yerusalem mencuat.
Morrison akhirnya mengumumkan bahwa Asutralia resmi mengakui Yerusalem Barat, bukan Yerusalem Timur, sebagai Ibu Kota Israel pada pertengahan Desember lalu, meski menyatakan belum akan merelokasi kedutaannya sampai status kota tersebut jelas.
Setelah keputusan tersebut diumumkan, Kemlu mengeluarkan pernyataan bahwa RI mencatat komitmen Australia akan solusi dua negara dan mendesak Canberra untuk segera mengakui Palestina sebagai negara.
Meski bukan Yerusalem Timur, sejumlah pengamat menganggap keputusan itu hanya untuk mencari aman dan hubungan RI-Australia tetap terancam.
“Selama ini hubungan RI-Australia bisa dibilang naik turun namun kedua negara cukup baik dalam menjaganya. Namun, tak dipungkiri keputusan PM Morrison soal Yerusalem ini membawa relasi kedua negara pada titik rendah yang baru,” ucap Caitlin Byrne, profesor sekaligus Direktur Griffith Asia Institute dari Griffith University, kepada
CNNIndonesia.com.Byrne menuturkan publik Australia bahkan merasa terkejut dengan keputusan Morrison terkait Yerusalem tersebut. Dia menilai keputusan Canberra soal relokasi kedutaan ke Yerusalem bukan lah suatu kebijakan prioritas.
“Kami merasa cukup terkejut dengan langkah yang diambil PM Morrison soal ini dan cukup khawatir bagaimana keputusan ini bisa mempengaruhi relasi Australia dengan Indonesia," ucap Byrne.
Meski begitu, Bryne berharap keputusan Australia tidak mempengaruhi Indonesia untuk terus melanjutkan dan merampungkan perjanjian IA-CEPA.
“Karena finalisasi IA-CEPA bergantung dari pihak Indonesia, karena saya melihat keputusan soal Yerusalem tidak mengubah antusiasme Australia terkait kesepakatan kerja sama perdagangan bebas ini,” tuturnya.
PR bagi IndonesiaIsu Palestina tetap akan menjadi tugas besar bagi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Di satu sisi, Indonesia memiliki kewajiban memperjuangkan kemerdekaan Palestina sesuai dengan amant konstitusi negara.
Namun, di sisi lain, jika ada negara-negara lain yang mengikuti langkah kontroversial AS dan Australia, Indonesia tetap tak bisa berbuat banyak lantaran setiap negara memiliki kedaulatan masing-masing untuk menentukan politik luar negerinya.
Konflik Israel-Palestina yang sangat sensitif di mata rakyat Indonesia bahkan bisa dijadikan alat politik dalam negeri jika pemerintah tak bisa menangani isu ini dengan bijak.
Dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai isu Palestina juga berpotensi dijadikan alat penggiring opini publik di tengah tahun politik saat ini menjelang pemilihan presiden 2019 mendatang.
“Bisa saja isu ini digunakan sejumlah kelompok untuk mencari panggung dan menekan pemerintah atau oposisi jelang pilpres,” kata Teuku.
(rds/has)