Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian
Filipina kembali menuai cibiran setelah satu bocah perempuan berusia tiga tahun dilaporkan tewas dalam operasi anti-narkoba pada Ahad lalu.
Dalam sebuah jumpa pers pada Kamis (4/7), kepolisian menjelaskan bahwa insiden ini bermula ketika operasi sedang memburu seorang tersangka pengedar narkoba di dekat Manila.
Saat polisi sedang mencoba mengejar tersangka, pria itu menjadikan putrinya sebagai tameng dan mulai melepaskan tembakan ke arah aparat. Polisi pun membalas dengan tembakan yang ternyata tersasar ke arah bocah tersebut.
Juru bicara kepolisian Filipina, Bernard Banac, mengatakan bahwa para personel yang diterjunkan dalam operasi pada Minggu itu sudah ditahan untuk menentukan penanggung jawab kematian bocah tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kepolisian tak bisa menyalahkan personelnya karena tersangka melepaskan tembakan terlebih dulu.
"Kejadian itu memang kecelakaan dan dia menggunakan putrinya sebagai tameng manusia," ujar Banac sebagaimana dikutip
Reuters.
Membela pernyataan Banac, seorang senator yang pernah memimpin kampanye anti-narkoba Filipina, Ronald dela Rosa, juga mengatakan bahwa insiden tersebut tak dapat dihindari.
"Kita hidup di dunia yang tak sempurna. Akankah seorang petugas kepolisian menembak anak kecil? Tidak akan karena mereka punya anak juga. Namun, kesialan memang terjadi dalam operasi," katanya.
Namun, ibu batita tersebut membantah semua pernyataan kepolisian, meski tak menjabarkan lebih lanjut cerita versi keluarganya. Operasi kepolisian ini pun langsung menuai kritik.
Protes atas operasi anti-narkoba kepolisian pun kembali meluas. Sejumlah aktivis lantas mengingatkan bahwa saat ini, sudah ada puluhan negara yang mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelidiki operasi anti-narkoba di Filipina.
Operasi besar-besaran yang digaungkan oleh Presiden Rodrigo Duterte itu memang dikecam karena menewaskan hampir 27 ribu tersangka tanpa proses peradilan jelas.
"Ini bukan 'kesialan.' Ini terjadi karena pemerintah lebih mengadili orang dengan senjata ketimbang pengadilan," kata seorang pengacara pembela hak asasi manusia di Filipina, Jose Manuel Diokno.
(has)