Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan
Amerika Serikat menolak usulan seorang anggota Kongres dari Partai Demokrat, Al Green, untuk memulai proses pemakzulan Presiden
Donald Trump, Rabu (17/7).
Berdasarkan hasil pemungutan suara, sebanyak 332 anggota Dewan Perwakilan menolak usulan Al Green, sementara 95 lainnya mendukung gagasan itu.
Dari total 332 anggota Dewan Perwakilan yang menolak usulan itu, sebanyak 235 di antaranya merupakan politikus Demokrat. Sementara itu, seluruh anggota Partai Republik di majelis itu menolak gagasan Al Green.
Penolakan Dewan Perwakilan ini menjadikan proses pemakzulan Trump ditunda tanpa batas waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui kicauan di Twitter, Trump menganggap hasil pemungutan ini memperjelas bahwa upaya pemakzulannya dari Gedung Putih sudah "berakhir".
"(Usulan) ini mungkin proyek paling konyol dan menghabiskan waktu yang pernah saya kerjakan. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi lagi pada Presiden AS lainnya," kata Trump.
Usulan proses pemakzulan Trump kembali diangkat setelah sang presiden lagi-lagi mengeluarkan komentar bernada rasial dan senofobia yang menjadi kontroversi.
Melalui Twitter, Trump meminta sejumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan yang berasal dari etnis kulit berwarna untuk kembali ke negara asal mereka.
Meski tidak menyebut nama, sang presiden dianggap menyiratkan bahwa anggota-anggota Kongres tersebut bukan warga asli AS.
Tak hanya menimbulkan kecaman di dalam negeri, kicauan Trump itu juga menuai kritikan dari dua pemimpin dunia, yakni Perdana Menteri Inggris, Theresa May, dan PM Selandia Baru, Jacinda Ardern.
Berbeda dengan Trump, Ardern justru dengan bangga mengagung-agungkan keberagaman masyarakatnya.
"Kami berpandangan bahwa parlemen kami harus menjadi tempat yang mewakili semua golongan, harus terlihat dan terasa seperti Selandia Baru, yang berarti harus terdiri dari keberagaman budaya dan etnis," kata Ardern kepada Radio New Zealand, Selasa (16/7).
[Gambas:Video CNN]Sementara itu, May menganggap pernyataan Trump itu "sangat tidak bisa diterima."
"Pandangannya (May) bahwa bahasa yang digunakan untuk merujuk pada perempuan benar-benar tidak dapat diterima," ujar juru bicara May kepada para wartawan, Senin (15/7).
(rds/has)