Jakarta, CNN Indonesia -- Sebutan "
Britain Trump" tengah ramai dibicarakan publik
Inggris menyusul terpilihnya
Boris Johnson sebagai perdana menteri baru, Selasa (23/7).
Sejumlah pihak menyamakan Johnson dengan Presiden Amerika Serikat
Donald Trump. Selain sama-sama lahir di New York, kedua pemimpin disebut memiliki sejumlah kemiripan mulai dari warna rambut, gaya kepemimpinan, hingga "moral yang kendur" dengan lusinan kontroversi.
Sebutan "
Britain Trump" bahkan diamini oleh sang pemimpin Gedung Putih. Dalam sebuah pidatonya di Washington kemarin, Trump menyambut kemenangan Johnson dan menganggap sebutan "
Britain Trump" bagi Johnson adalah pujian yang baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trump juga telah mengisyaratkan relasi AS-Inggris di tangan keduanya akan sangat istimewa ke depan. Ia juga telah mengundang Johnson ke Gedung Putih melalui sambungan telepon pada pekan lalu.
Meski tak berpengaruh secara signifikan dalam waktu dekat, sejumlah pengamat menganggap kemenangan Johnson tidak diragukan lagi akan berbuah manis terhadap relasi AS-Inggris.
[Gambas:Video CNN]Sebab, hubungan kedua sekutu lama ini sempat memburuk setelah pendahulu Johnson, Theresa May, menegur Trump karena mencampuri urusan dalam negeri Inggris terkait negosiasi Brexit.
"Chemistry personal antara kedua pemimpin akan semakin membaik. Trump dengan gamblang memperlihatkan bahwa dia mendukung Boris sebagai pemimpin saat ini dan tentunya dia dan Boris akan sangat sepaham terutama soal Brexit," kata Amanda Sloat, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS yang kini menjadi peneliti di Brookings Institution.
Boris juga dipastikan akan membidik Washington sebagai salah satu tujuan perdana lawatan kenegaraannya sebagai PM dalam waktu dekat demi menunjukkan keharmonisan baru antara AS-Inggris. Pertanyaannya, apakah '
bromance' Trump-Johnson akan berpengaruh nyata terhadap kebijakan bilateral kedua negara?
Meski relasi Trump dan Johnson tengah hangat-hangatnya, sejumlah pihak merasa skeptis jika romansa keduanya itu akan mengubah kebijakan luar negeri Inggris secara signifikan.
Seberapa kuat keinginan Johnson untuk "memikat" Trump, eks Wali Kota London itu diprediksi tidak akan berani mengambil risiko mengubah kebijakan luar negeri Inggris secara ekstrem ketika dirinya menghadapi parlemen yang tengah didominasi oposisi.
Selain itu, kedekatan dengan AS, terutama di bawah kepemimpinan Trump dinilai tidak akan banyak menguntungkan Inggris. Sebab, pengamat menilai pendekatan Trump dengan "
America First"-nya tidak akan memberikan ruang bagi sentimentalitas persahabatan kedua negara.
Sebagai contoh, AS masih berpikir dua kali untuk menjalin kesepakatan perdagangan dengan Inggris setelah negara itu keluar dari Uni Eropa nanti.
"Sejujurnya, saya tidak yakin jika ini akan berjalan baik seutuhnya. Saya tidak melihat Johnson mencoba menyelaraskan kebijakan luar negeri (terhadap AS). Saya juga tidak melihat Trump mengubah pandangan transaksionalnya tentang hubungan istimewa ini," kata Direktur Pusat Penelitian Kebijakan AS dan Eropa Brookings Institutions, Thomas Wright, seperti dikutip The Guardian.
'Kehancuran' InggrisSejumlah pihak menganggap terpilihnya Johnson sebagai PM merupakan awal kehancuran; Inggris. Johnson dipandang sebagai salah satu politikus yang membawa populisme 'Inggris bangkit' hingga menghasilkan referendum Brexit pada 2016 lalu.
 PM Inggris Boris Johnson. (REUTERS/Peter Nicholls) |
Dia merupakan menteri kabinet era Theresa May yang mendesak Inggris untuk tidak memiliki hubungan apa pun dengan Uni Eropa selepas Brexit. Padahal, hingga di masa akhir jabatannya sebagai PM, May berupaya membawa Inggris untuk tetap berhubungan dekat dengan blok tersebut, terutama dalam sektor ekonomi.
Perbedaan pendapat itu pula yang membuatnya mundur sebagai menteri luar negeri May pada 2018 lalu.
"Boris Johnson dan Donald Trump memiliki kepribadian dan orientasi serupa terhadap media. Tak satu pun dari mereka yang ideologis, tak satu pun dari mereka peduli tentang masalah (negara) seperti mereka peduli pada diri mereka sendiri," kata Kepala Eurasia Group, Ian Bremmer, seperti dikutip
AFP.
Bremmer menganggap Johnson dan Trump pada prinsipnya sama-sama politikus yang memiliki ideologi sayap kanan dan lebih berorientasi pada populis, anti-kritik, serta anti-kemapanan.
Mantan pejabat Kemlu AS di bawah Presiden George W Bush, R Nicholas Burns, mengatakan terpilihnya Johnson sebagai PM membawa Inggris ke dalam krisis identitas.
"Inggris tengah berada dalam krisis eksistensi, sementara AS telah lama berada dalam krisis serupa. Kedua pemimpin (Johnson dan Trump) ini berubah-ubah dan mereka sepenuhnya tidak dapat diprediksi," tutur Burns seperti dikutip
The New York Times.
(rds/dea)