Jakarta, CNN Indonesia -- Hubungan antara penduduk
Indonesia dan
Malaysia kerap mengalami pasang surut. Mulai dari sengketa wilayah, saling klaim produk budaya hingga pernyataan kontroversial.
Perseteruan terbaru adalah soal rencana Gojek berencana mengaspal di Negeri Jiran. Ekspansi perusahaan decacorn dalam bidang transportasi itu mendapat beragam respons dari publik Malaysia.
Meski pemerintah Malaysia menilai ekspansi Gojek secara positif, sebagian publik Negeri Jiran menganggap masih ada empat perusahaan sejenis yang tidak kalah bersaing dengan Gojek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa di antaranya bahkan menolak kehadiran Gojek, termasuk seorang bos Big Blue Taxi Services di Malaysia, Shamsubahrin Ismail.
Shamsubahrin bahkan dengan keras mempertanyakan kenapa pemerintah Malaysia mengizinkan Gojek beroperasi. Dia menyatakan moda transportasi itu "hanya untuk orang miskin seperti di Jakarta, di Thailand, di India, dan di Kamboja."
Pernyataannya tersebar di media sosial hingga menuai kecaman dari komunitas pengemudi taksi serta ojek online di Indonesia. Menanggapi hal itu, sekitar 10 ribu pengemudi ojek online di Jakarta berencana menggelar demo di depan kantor kedutaan besar Malaysia.
Perseteruan ini kembali memecah pandangan antara warga kedua negara bertetangga. Meski memiliki hubungan yang sangat dekat, relasi Malaysia dan Indonesia tak jarang mengalami fase naik dan turun.
Jika dilihat dari sejarah, kedua negara punya riwayat konflik yang tak sederhana, mulai dari masalah perbatasan, perlakuan terhadap tenaga kerja, hingga dugaan klaim budaya.
Sengketa Pulau Sipadan dan LigitanSengketa perbatasan bisa dibilang penyulut utama merenggangnya hubungan Indonesia dan Malaysia selama ini. Jika melihat ke belakang, sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan bisa menjadi buktinya.
Dua pulau yang terletak di Laut Sulawesi itu telah menjadi sengketa kedua negara sejak 1969, ketika Malaysia pertama kali mengklaim pulau itu sebagai wilayah kedaulatannya. Perebutan dua pulau itu memanas pada 1991 silam, ketika Malaysia kedapatan membangun sejumlah fasilitas pariwisata di Pulau Sipadan.
Pada 2002, Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice/ICJ) memutuskan gugatan Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Malaysia.
Perairan AmbalatTak hanya Sipadan dan Ligitan, wilayah perairan Ambalat yang terletak dekat perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sabah, Malaysia, juga menjadi biang kemelut RI-Malaysia soal perbatasan.
Blok laut kaya minyak seluas 15 ribu kilometer persegi di Selat Makassar atau Laut Sulawesi itu pertama kali diperdebatkan kedua negara mulai dekade 1960-an.
Apalagi sejak 1979 Malaysia membuat peta tapal batas kontinental dan maritim baru dengan memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayahnya sehingga memicu protes RI.
Puncaknya pada 2015 lalu, sembilan jet tempur Malaysia menerobos kawasan RI di blok Ambalat hingga memicu protes keras dari Istana Negara.
Sudah terhitung puluhan tahun, hingga kini penyelesaian sengketa blok Ambalat masih menggantung.
Tidak hanya soal wilayah, masalah penanganan TKI juga dianggap jadi batu ganjalan relasi kedua negara selama ini. Sebab, hingga kini isu penyiksaan hingga perekrutan TKI ilegal di Malaysia masih marak ditemui.
Yang terbaru adalah kasus pemerkosaan TKI oleh seorang anggota parlemen negara bagian Perak, Malaysia, Paul Yong. Hingga kini, kepolisian Malaysia masih menyelidiki kasus tersebut.
Paul sempat ditahan oleh otoritas Malaysia namun berhasil bebas dengan jaminan. Paul baru-baru ini dilaporkan mundur sementara dari jabatannya menjelang proses persidangan.
Klaim Lagu Daerah dan BudayaKesamaan budaya antara Indonesia dan Malaysia justru menjadi bumerang relasi kedua negara.
Beberapa tahun lalu warga Indonesia ramai memplesetkan nama Malaysia menjadi 'Malingsia' setelah iklan pariwisata Negeri Jiran menggunakan lagu daerah Rasa Sayang-Sayange.
Warga Indonesia menuding Malaysia telah mengklaim lagu daerah asal Maluku itu sebagai milik mereka.
Sekitar pertengahan 2009 Tari Pendet khas Bali muncul dalam iklan 'Enigmatic Malaysia' di Discovery Channel hingga menyulut kecaman dari warga Indonesia. Kementerian Pariwisata Indonesia saat itu bahkan mengajukan protes resmi ke Malaysia terkait hal ini.
Setelah menjadi ramai di Indonesia, pemerintah Malaysia pun akhirnya menyampaikan permohonan maafnya atas video klip yang menyertakan Tari Pendet tersebut.
Baju batik, alat musik angklung, wayang kulit, dan gamelan juga tak luput dari perseteruan kedua negara. Pada 2009 lalu, Organisasi Pendidikan, Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memutuskan batik sebagai warisan budaya Indonesia setelah sempat diklaim merupakan budaya Malaysia.
Sementara itu, klaim Malaysia atas angklung terjadi sekitar 2010 lalu. Salah satu situs asal Negeri Jiran, www.malaysiana.pnm.my menyebutkan bahwa angklung adalah salah satu warisan budaya Malaysia.
Klaim Malaysia atas angklung itu membuat sejumlah budayawan tanah air melakukan berbagai upaya untuk membuktikan bahwa angklung merupakan budaya asli Indonesia. Pemerintah Indonesia lantas mendaftarkan angklung menjadi alat musik warisan dunia ke UNESCO.
Klaim Malaysia soal wayang kulit dan gamelan mencuat di tahun yang sama. Situs pemerintah Malaysia, warisan.gov.my memasukkan wayang kulit dan gamelan ke dalam Statistik Daftar Warisan dan Warisan Kebangsaan Malaysia. Wayang kulit terdaftar dengan nomor P.U.(A) 85, sedangkan gamelan terdaftar dengan nomor P.U.(A) 78.