Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah
Thailand memutuskan menerapkan kebijakan kontroversial, yakni membolehkan kepolisian mendata seluruh mahasiswa Muslim di seluruh universitas selepas insiden sejumlah ledakan
bom di Bangkok pada Agustus lalu. Alasannya hal itu diperlukan untuk membangun basis data keamanan nasional.
Meski dikritik, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha justru membela kebijakan itu.
"Kepolisian telah menunjukkan bahwa hal tersebut bertujuan untuk pembuatan basis data intelijen. Tidak ada hak yang dilanggar. Kami tidak dapat mengelola apapun jika tidak memiliki data," kata Prayuth, seperti dilansir
Reuters, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan surat resmi yang beredar, kepolisian diizinkan meminta pihak universitas untuk memberikan informasi detil terkait mahasiswa Muslim.
Beberapa informasi yang diminta meliputi jumlah anggota, tempat asal, serta afiliasi dengan kelompok tertentu. Namun, nama universitas dalam surat itu dihapus.
Akibatnya, banyak pihak yang memprotes dengan menganggap bahwa kebijakan tersebut diskriminatif dan ilegal.
"Ini adalah bentuk intervensi terhadap hak-hak pribadi dan diskriminasi berdasarkan agama," kata mantan komisioner lembaga hak asasi manusia Thailand, Angkhana Neelapaijit.
Neelapaijit yang membagikan surat tersebut. Ia menambahkan bahwa kebebasan beragama dan hak atas privasi dijamin dalam konstitusi.
Beberapa pihak meminta kepolisian untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
"Kami ingin kepolisian mempertimbangkan kembali kebijakan ini. Universitas seharusnya adalah tempat di mana mahasiswa dapat mengekspresikan pandangannya secara bebas dan mendapat perlindungan atas haknya," kata ketua Federasi Mahasiswa Muslim Thailand, Ashraf Awae.
Tidak hanya Awae, rektor Universitas Ramkhamhaeng, Wuthisak Lapcharoensap, juga menyatakan hal yang sama. Bahkan dia menolak memenuhi permintaan kepolisian meskipun belum mendapat surat itu.
[Gambas:Video CNN]Pihak kepolisian menyatakan bahwa kebijakan permintaan informasi tersebut masih terkait dengan kejadian pengeboman yang menyebabkan empat orang terluka di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada 2 Agustus lalu.
Tiga orang pelaku dalam kasus ini telah ditangkap, sedangkan 11 orang lain masih buron. Para pelaku diidentifikasi merupakan keturunan Melayu yang berasal dari kawasan Thailand bagian selatan.
(fls/ayp)