Jakarta, CNN Indonesia -- Kelompok milisi
Taliban mengancam tenaga pengajar, pelajar, mahasiswa dan pegawai yang bekerja di bidang pendidikan di seluruh
Afghanistan untuk tidak mengikuti pemilihan presiden mendatang, jika tidak ingin terluka akibat serangan mereka. Sebab, Taliban sudah bersumpah akan memboikot pilpres sedangkan sejumlah bangunan lembaga pendidikan akan digunakan sebagai tempat pemungutan suara (TPS).
Seperti dilansir
Reuters, Taliban berencana akan mengganggu proses pilpres dengan menyerang berbagai lokasi TPS di Afghanistan. Ultimatum itu membuat keselamatan para pegawai sekolah yang diminta menjadi petugas TPS terancam.
"Jangan izinkan para penyelenggara pilpres untuk menjadikan sekolah dan institusi kalian menjadi TPS, dan guru serta murid seharusnya tidak bekerja sebagai petugas TPS. Kami tidak ingin menyebabkan korban jiwa dan kerugian finansial kepada masyarakat," demikian isi pernyataan Taliban pada Rabu (18/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagian besar TPS berlokasi di gedung institusi pendidikan, di mana tujuh hingga delapan dari 10 TPS menggunakan bangunan sekolah dan universitas.
Selain itu, para guru dan pegawai juga dipekerjakan menjadi petugas TPS. Sebagian dari mereka terlibat secara sukarela.
"Kami berkomitmen untuk mengadakan pilpres pada tanggal yang ditentukan, dan ancaman dari Taliban tidak dapat menghalangi kami," ujar juru bicara Komisi Pemilihan Umum Afghanistan, Abdul Aziz Ibrahimi.
Terkait hal ini, Kementerian Pendidikan Afghanistan belum dapat memberikan tanggapan apapun.
Pada Selasa kemarin, serangan bom bunuh diri Taliban di sejumlah tempat hampir menewaskan 50 orang. Salah satunya terjadi di dalam kampanye kandidat petahana pilpres, Ashraf Ghani.
Petugas keamanan kemudian dikerahkan untuk mengamankan pilpres setelah muncul ancaman dari Taliban.
Taliban sudah bersumpah akan semakin gencar menyerang pemerintah Afghanistan dan pasukan asing untuk menekan masyarakat supaya tidak mengikuti pilpres.
[Gambas:Video CNN]Di sisi lain, proses perundingan Amerika Serikat dan Taliban mandek. Padahal Presiden AS, Donald Trump, sempat ingin mengakhiri peperangan yang sudah berlangsung selama 18 tahun.
(fls/ayp)