Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah
Libanon mempercepat proses reformasi ekonomi di tengah peningkatan ketegangan akibat demonstrasi besar-besaran sejak pekan lalu.
Perdana Menteri Libanon, Saad Hariri, mengatakan bahwa pemerintah akan memegang teguh janji mereka untuk melakukan reformasi yang bakal langsung berdampak pada anggaran tahun 2020 ini.
Meski demikian, Hariri menyadari bahwa keputusan pemerintah ini tak akan meredakan kehausan warga akan perombakan sistem perekonomian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keputusan ini tidak dirancang sebagai nilai tawar akhir. Kami tidak memaksa kalian untuk berhenti mengekspresikan amarah kalian. Itu adalah keputusan kalian," ucap Hariri saat mengumumkan rencana reformasi tersebut pada Senin (21/10).
Hariri kemudian menjabarkan bahwa reformasi tersebut akan mencakup membatalkan kenaikan pajak, juga memangkas gaji menteri dan anggota parlemen yang berlebihan.
Ia juga berjanji dalam tiga pekan akan menyetujui proyek infrastruktur tahap pertama dengan dana bantuan sebesar US$11 miliar yang diberikan donor internasional tahun lalu.
Selain itu, Libanon juga akan menerapkan sistem pensiun baru selambatnya pada akhir tahun. Mereka juga bakal menyuntikkan dana 160 juta tunai untuk mendukung pinjaman perumahan.
Tak hanya reformasi ekonomi, Hariri juga berjanji bakal menggelar pemilihan umum lebih cepat, sesuai dengan salah satu tuntutan pada demonstran.
Demonstrasi ini sendiri mulai memanas pada pekan lalu, ketika pemerintah berencana untuk menerapkan tarif penggunaan aplikasi pesan instan WhatsApp.
Meski pemerintah sudah membatalkan rencana tersebut, demonstran terlanjur mengamuk dan mendesak Hariri melakukan reformasi, bahkan mundur dari kursi perdana menteri.
[Gambas:Video CNN]Tak lama setelah Hariri mengumumkan reformasi ekonomi ini, para demonstran pun mengaku tak puas dan menuntut perombakan pemerintahan.
"Kami ingin rezim ini jatuh. [Reformasi ekonomi] ini hanya bagai asap dan cermin. Bagaimana kami memastikan reformasi ini akan diterapkan," kata salah satu demonstran, Chantal, kepada
AFP.
(has)