Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung
Amerika Serikat menetapkan empat tentara Angkatan Bersenjata
China sebagai tersangka
peretasan dan
pencurian data dari perusahaan biro kredit Equifax yang terjadi tiga tahun lalu. Menurut Jaksa Agung William Barr, kasus pencurian data sekitar 150 juta warga AS itu merupakan yang terbesar.
"Pencurian data itu ikut mengganggu informasi pribadi warga AS," kata Barr dalam jumpa pers di Washington DC, seperti dilansir
CNN, Selasa (12/2).
Barra menyatakan AS jarang menuduh anggota angkatan bersenjata atau badan intelijen negara lain. Namun, dia menyatakan mempunyai alasan lain melakukan hal itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka bukan hanya menyebabkan kerugian keuangan bagi Equifax, tetapi juga mengganggu privasi jutaan warga AS dan menyebabkan mereka harus mengeluarkan sejumlah uang untuk melindungi diri dari pencurian data pribadi," kata Barr.
Equifax baru mengungkapkan pusat data mereka dibobol pada September 2017, tiga bulan setelah mereka mengetahuinya. Mereka menyatakan sejumlah informasi seperti nama pelanggan dan karyawan, nomor jaminan sosial serta surat izin mengemudi serta alamat berhasil diretas.
[Gambas:Video CNN]Para pelaku disebut mengakali perangkat untuk mencegah pencurian data yang ditanam di sistem informasi perusahaan tersebut. Equifax baru menyadari kelemahan itu dua bulan sebelum kejadian.
Kejadian itu membuat Direktur Eksekutif Equifax, Richard Smith, mengundurkan diri. Sejumlah aparat keamanan gabungan lantas menyelidiki perusahaan tersebut. Mereka juga dihadapkan oleh gugatan yang diajukan para pelanggan terkait pencurian data.
Menurut Direktur Pusat Keamanan dan Kontra Intelijen Nasional, Bill Evanina, kejadian ini memperlihatkan peretas China terus mencoba membobol untuk mencuri data dari AS, yang dilakukan selama bertahun-tahun. Dia mengatakan data itu bisa digunakan untuk mengasah kemampuan kecerdasan buatan yang membutuhkan banyak data.
"Equifax memiliki seluruh data kita dan para penduduk harus menyadarinya. Pihak luar, terutama China, terus menyasar sektor swasta AS untuk mencuri data pribadi dan rahasia dagang dan hal ini menjadi ancaman," kata Evanina.
(ayp/ayp)