Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah
Zimbabwe memutuskan melakukan karantina wilayah alias
lockdown selama 21 hari (tiga pekan) demi mencegah meluasnya penularan virus corona (
Covid-19).
Saat ini di negara benua Afrika itu sudah ada enam kasus positif, satu di antaranya berujung kematian.
Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa, memutuskan
lockdown 21 hari itu dimulai pada Senin (20/3) di seantero negeri. Alhasil semua toko dan bank ditutup, kecuali rumah sakit dan fasilitas publik yang penting lainnya. Kemudian penebangan dari dan keluar Zimbabwe juga dihentikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, keputusan pemerintah negara berpopulasi 15 juta jiwa itu mendapatkan berbagai macam apresiasi dari rakyatnya. Salah satunya Isaac Sayeed yang menjalankan toko alat tulis di ibu kota Zimbabwe, Harare.
"Kami tidak melawan [kebijakan]
lockdown, tetapi 21 hari itu terlalu lama. Kami sudah mulai kekurangan bahan baku makanan," kata Sayeed seperti dilansir
AFP, Minggu (29/3).
Selain itu, keputusan
lockdown itu memicu terjadinya pembelian panik (
panic buying) yang membuat harga-harga meningkat. Salah satunya harga tabung gas yang naik hampir 50 persen pada Sabtu malam.
Selain itu, di negara minim curah hujan tersebut, kebutuhan akan air bersih pun menjadi sulit.
"Kami harap stok cukup untuk 21 hari ke depan, tetapi banyak juga dari kami yang hidup dengan penghasilan harian, " kata Sayeed yang harus pasrah bisnisnya juga terimbas
lockdown.[Gambas:Video CNN]Di satu sisi, Presiden Mnangagwa--yang mengambil alih jabatan dari Robert Mugabe pada 2017 lalu pun harus berhadapan dengan tantangan ekonomi dan hiperinflasi.
Selain itu, sistem pelayanan kesehatan publik pun mulai kekurangan obat-obatan dasar dan beberapa perlengkapan esensial. Para dokter dan suster pun pekan lalu melakukan protes karena kurangnya alat perlindungan diri (APD) untuk merawat pasien positif Covid-19.
Tapi, Sabtu (28/9) lalu Menteri Kesehatan Zimbabwe, Obadiah Moyo, menjamin ketersediaan APD bagi para tenaga medis di negara itu.
(afp/kid)