Jakarta, CNN Indonesia -- Tangan Naya Marsatyasti rasanya sudah gatal memegang kamera dan berburu foto bangunan-bangunan unik di Jepang.
Sudah dua bulan, perempuan asal Indonesia itu "terkurung" di asrama mahasiswa lantaran
pandemi virus corona (Covid-19) yang masih menghantui negara itu.
Jepang memang menjadi salah satu negara paling terdampak pandemi virus corona di awal penyebaran. Berdasarkan data statistik John Hopkins University, Jepang tercatat memiliki 16.305 kasus positif corona dengan 749 kematian hingga Selasa (19/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tren penularan virus corona sempat menurun, Jepang terus menemukan lonjakan kasus Covid-19 baru selama April lalu hingga membuat Perdana Menteri Shinzo Abe menerapkan dan memperluas status darurat corona secara nasional.
Naya bercerita biasanya di sela-sela waktu luang, ia kerap pergi menjelajahi Jepang, terutama Ibu Kota Tokyo, untuk sekadar mencari inspirasi karya dan gambarnya.
Namun, kini ia hanya bepergian untuk membeli makanan dan pasokan kebutuhan, atau sesekali menghirup udara segar keluar asrama, terutama setelah status darurat corona berlaku.
"Sebelum pandemi terjadi, saya suka jalan-jalan keliling mencari bangunan di Tokyo gitu atau ke museum-museum kalau lagi ada pameran, 'berziarah arsitektur' haha. Tapi sudah dua bulan saya tidak kemana-kemana," kata mahasiswi yang sedang melanjutkan studi S2 di Departement of Architecture and Building Engineering, Tokyo Institute of Technology, kepada
CNNIndonesia.com.
Jepang tanpa sushi bar rasanya kurangSemenjak pandemi menyerang, satu persatu restoran di Jepang, kata Naya, turut membatasi pelayanan terutama bagi yang ingin makan di tempat.
Tak ada lagi antrean ramai di kedai-kedai sushi dan udon. Restoran sushi juga berhenti menjajakan olahan ikan segar karya mereka dengan rel konveyor berjalan lantaran sebagian besar tempat makan di Jepang hanya melayani pesan antar atau pesan dibungkus.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Dilansir
Bloomberg, industri makanan Jepang memang menjadi salah satu sektor yang paling terdampak pandemi.
Naya mengaku sudah rindu pergi keluar dan mencicipi kuliner Jepang yang khas. Sebelum pemerintahan Abe menerapkan status darurat corona nasional, restoran dan kedai makanan masih buka seperti biasa.
"Tapi setelah
state of emergency, semua restoran buka dengan terbatas, melayani
take away saja. Rasanya sudah kangen banget (jajan di luar). Gara-gara di kamar terus dan masak terus, jadi kangen makanan Jepang," ujar Naya.
Jepang berdamai dengan coronaNaya sadar kerinduan akan semangkuk udon hangat di musim gugur dan perjalanan jauh hingga kaki pegal demi menemukan sudut bangunan yang fotogenik belum bisa terbayarkan dalam waktu dekat.
Ia merasa situasi sekarang-hidup berdampingan dengan ancaman corona-mungkin akan berlangsung untuk beberapa waktu ke depan dan belum bisa ditentukan sampai kapan.
Situasi pasca pandemi memang membuat sebagian besar aspek kehidupan harus mulai beradaptasi. Mulai dari cara berinteraksi antar manusia, berada di tempat publik, kegiatan perkantoran, bepergian, hingga beribadah.
Tempat-tempat wisata, pusat perbelanjaan, dan hiburan mungkin tidak bisa menampung pengunjung sebanyak dulu.
Jumlah penumpang di setiap gerbong kereta bawah tanah dan bus dibatasi, penonton bioskop sudah tak bisa duduk berdekatan dan saling bersandar lagi, dan sebagainya. Selain terbatas, penonton konser musik juga mungkin diharuskan memakai masker selama pertunjukan berlangsung.
Musim semi tahun ini juga sangat berbeda di Jepang. Akibat corona, taman-taman yang dulu ramai dikunjungi turis mancanegara, kini sepi dan hanya ramai oleh warga lokal.
Padahal, taman-taman tersebut selama ini menjadi tempat favorit untuk melihat bunga sakura bermekaran saat festival
cherry blossom.
Musim semi juga menjadi waktu emas bagi pariwisata Jepang yang bisa mendatangkan devisa bagi negara hingga US$6 miliar setiap tahunnya.
 Musim sakura di tengah corona Jepang (Behrouz MEHRI / AFP) |
Pemerintah Jepang juga telah merilis pedoman 'new normal' pada 4 Mei lalu yang berisikan imbauan seperti menjaga jarak sosial, mengenakan masker, mencuci tangan, dan mengubah pola kerja menjadi
remote working atau bekerja dari rumah.
Pedoman itu disebut pemerintahan Abe sebagai gaya hidup baru yang mungkin diterapkan di masyarakat hingga vaksin dan obat corona tercipta.
Naya menuturkan memang banyak penyesuaian yang dilakukan setelah puncak pandemi berlangsung. Namun menurutnya, kehidupan 'new normal' tidak banyak membawa perubahan bagi warga Jepang.
Sebelum pandemi berlangsung, warga Jepang, khususnya di Tokyo, sudah terbiasa menggunakan masker. Di stasiun kereta bawah tanah dan tempat umum lainnya, orang-orang juga sudah sadar untuk menjaga jarak.
"Saya merasa ini tidak mengganggu karena sebenarnya di Tokyo sendiri orang-orang sudah seperti itu sejak sebelum ada corona. Sebagian orang sudah sering memakai masker, terutama yang sakit. Orang-orang juga sudah jaga jarak sendiri mungkin karena preferensi masing-masing. Meski ada sebagian orang lainnya yang tidak seperti itu, tapi sepertinya di Tokyo tidak terlalu timpang perbedaan dulu dan sekarang," ujar Naya.
Jepang menjadi salah satu negara yang tidak menerapkan penguncian wilayah dan aturan ketat soal pembatasan pergerakan sejak awal virus corona menyebar di negara itu.
Pemerintah Jepang mengeluarkan serangkaian pedoman kesehatan dan pencegahan penularan, namun tanpa sanksi tegas. Status darurat nasional yang diterapkan PM Abe pada 7 April lalu juga tanpa sanksi bagi pelanggar.
Menurut Naya, status darurat nasional tidak terlalu banyak mempengaruhi masyarakat. Sebab, kebijakan itu hanya berisikan imbauan, bukan perintah apalagi larangan.
"State of emergency di sini tidak berpengaruh banyak ke masyarakat sih karena ya hanya 'strongly request' isinya tapi tidak ada denda dan sanksi yang dijatuhkan jika warga melanggar. Secara umum, aktivitas warga Jepang masih berjalan seperti biasa, kereta bawah tanah masih jalan kayak biasa dan orang-orang juga masih banyak yang bekerja ke kantor terakhir saya keluar," kata Naya.
 Foto: CNN Indonesia/Fajrian |
Status darurat corona Jepang berisikan sejumlah norma baru yang disarankan seperti kewajiban mengenakan masker di luar ruangan, menjaga jarak sekitar dua meter di antara kerumunan, memberlakukan kerja jarak jauh sebanyak mungkin, menghindari ruang penuh sesak, dan rutin mencuci tangan dengan sabun.
Selain itu, orang-orang yang bersantap di restoran harus duduk di luar, serta berdampingan sambil menjaga jarak ketika mengobrol.
Meski sebagian besar masyarakat Jepang patuh, beberapa orang memprotes bahkan menentang norma baru tersebut.
Dilansir
CNN, salah satu pengguna Twitter menulis, "Aku tercengang. Tidak ada para ahli di dunia yang mendesak nasihat semacam ini, hanya para ahli di Jepang. Sepertinya mereka mempelajari virus, bukan perilaku manusia. Apa yang lebih menakutkan daripada virus adalah orang-orang tidak tahu yang memberikan panduan kepada masyarakat tentang cara menanganinya".
(rds/dea)
[Gambas:Video CNN]