Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden
Filipina,
Rodrigo Duterte, mengklaim bahwa masyarakatnya taat hukum dan tidak bakal mengalami gejolak demonstrasi seperti yang terjadi di
Amerika Serikat saat ini.
Pernyataan itu disampaikan Duterte menanggapi aksi unjuk rasa yang memicu kerusuhan dan penjarahan di sejumlah kota di AS, dipicu kematian seorang pria kulit hitam, George Floyd, akibat kekerasan oleh polisi dan kembali membuka permasalahan tentang diskriminasi rasial di Negeri Paman Sam.
"Kami tidak memiliki sikap diskriminasi rasial seperti Amerika di sini. Di sana sedang terjadi kerusuhan," kata Duterte dalam jumpa rapat kabinet dari Davao City, Davao, seperti dilansir
Associated Press, Jumat (5/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sana sedang terjadi kerusuhan dan nampaknya belum menunjukkan akan berakhir. Beruntung bangsa Filipina tidak seperti mereka dan sangat menaati hukum. Bayangkan jika ini adalah Amerika, bagaimana kalian akan menegakkan penguncian wilayah dan karantina?," ujar Duterte.
Floyd meninggal setelah mengalami tindak kekerasan oleh anggota kepolisian Minneapolis, dengan dalih melawan ketika ditangkap pada 25 Mei lalu.
Lelaki berusia 46 tahun itu ditangkap karena dilaporkan membeli sebungkus rokok menggunakan uang pecahan US$20 palsu, di gerai Cup Foods di Minneapolis.
Menurut pemilik toko, Mike Abumayyaleh, Floyd adalah pelanggan setia dan selama ini tidak pernah membuat masalah.
Dari hasil autopsi, Floyd meninggal karena henti jantung. Dia juga dilaporkan terinfeksi virus corona (Covid-19).
Petugas kepolisian Minneapolis, Derek Chauvin, yang mengunci leher Floyd dengan lutut saat penangkapan hingga tersangka kehabisan napas dijerat dengan sangkaan pembunuhan tingkat dua, setelah sebelumnya disangka pembunuhan tingkat tiga.
Chauvin yang sempat ditahan di penjara Ramsey County dipindahkan ke Lapas Hennepin County, kemudian kini dibui di Lapas Negara Bagian Minnesota.
Tiga polisi lain yang terlibat penangkapan Floyd adalah Thomas Lane, J. Alexander Kueng dan Tou Thao, kini juga dibebastugaskan dan ditahan. Mereka akan dihadirkan ke persidangan dengan sangkaan berbeda.
Kasus tersebut saat ini ditangani langsung oleh Kepala Kejaksaan Minnesota, Keith Ellison.
Akibat kejadian itu, penduduk di sejumlah kota dan negara bagian di AS bergolak dan berdemonstrasi menuntut keadilan. Mereka bahkan bentrok dengan aparat keamanan dan pasukan korps Garda Nasional, serta tidak menaati pemberlakuan jam malam.
Desakan PBBDi sisi lain, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Filipina untuk mengakhiri pelanggaran HAM, yang dilakukan kelompok paramiliter yang dibiayai pemerintah dan secara mandiri.
Mereka menyatakan catatan pelanggaran HAM pemerintahan Filipina di bawah kepemimpinan Duterte semakin memburuk, terutama kekerasan dalam perang melawan narkoba.
"Operasi pemberantasan narkoba dan kelompok yang membahayakan keamanan nasional menghasilkan pelanggaran HAM berat di Filipina, termasuk pembunuhan dan penahanan di luar pengadilan, termasuk pembungkaman terhadap pihak-pihak yang mengkritik kebijakan tersebut," demikian isi laporan Kantor HAM PBB.
Di dalam laporan tersebut menyebutkan bahwa masalah HAM di Filipina semakin bertambah dalam beberapa tahun belakangan.
 Aksi solidaritas atas kematian pria kulit hitam, George Floyd, di Minneapolis, Amerika Serikat, (AP/Carlos Gonzalez) |
Mereka menyatakan polisi Filipina kerap menggeledah rumah atau bangunan tanpa surat perintah, dan ada upaya pemalsuan barang bukti untuk merekayasa kasus.
Mereka menyatakan dalam laporan 25 operasi pemberantasan narkoba antara Agustus 2016 sampai Juni 2017 dilaporkan aparat selalu menyita senjata api dengan nomor seri yang sama di berbagai lokasi penggeledahan dan tersangka yang berbeda. Bahkan ada laporan yang menyebutkan sejumlah tersangka ditembak mati meski tidak menyimpan senjata api.
Laporan Kantor HAM PBB soal pelanggaran HAM di Filipina dibuat berdasarkan 900 dokumen, termasuk dari pemerintah, catatan pengadilan serta polisi, dan wawancara dengan sejumlah korban dan saksi.
Di dalam laporan itu disebutkan ada sekitar 8.663 orang meninggal dalam operasi pemberantasan narkoba yang digelar sejak empat tahun lalu. Sejumlah kalangan menilai jumlah sebenarnya bisa tiga kali lipat lebih banyak.
Sementara menurut versi Kepolisian Filipina, jumlah korban meninggal dalam operasi pemberantasan narkoba berjumlah lebih dari 5.600 orang.
[Gambas:Video CNN]Mereka juga menyoroti dugaan ancaman terhadap para aktivis HAM, serta pembungkaman jurnalis di Filipina.
"Yang sangat disayangkan adalah tentang laporan pelanggaran HAM dan impunitas, sedangkan para korban tidak mendapat keadilan dari lembaga hukum setempat. Orang-orang yang menjual dan menggunakan narkoba tidak kehilangan hak asasi mereka," kata Komisioner Komisi Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet.
(ayp/ayp)