Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden
Amerika Serikat,
Donald Trump, dilaporkan nyaris memecat Menteri Pertahanan,
Mark Esper, pada pekan lalu setelah keduanya berselisih paham soal wacana pengerahan tentara reguler untuk menghadapi aksi demonstrasi kematian George Floyd.
Dalam laporan surat kabar Wall Street Journal yang dikutip
CNN, Rabu (10/9), para sumber mengatakan sekutu dan penasihat presiden di Gedung Putih membahas tentang ancaman Trump setelah menanyakan pendapat mereka tentang ketidaksepakatan yang disampaikan Esper.
Beberapa pejabat mengatakan Esper bahkan sudah menyiapkan surat pengunduran diri, tetapi ia diyakinkan oleh para stafnya untuk mengurungkan niat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pekan lalu Esper menyatakan bahwa pengerahan pasukan reguler untuk membantu penegakan hukum hanya dilakukan sebagai jalan terakhir.
Saat berbicara dari podium ruang pengarahan Kementerian Pertahanan AS (Pentagon), Esper mencatat bahwa negara sedang tidak dalam situasi genting.
"Pilihan untuk menggunakan pasukan aktif dalam peran penegakan hukum hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dalam situasi yang paling mendesak dan mengerikan. Kita tidak berada dalam salah satu situasi itu sekarang. Saya tidak mendukung penerapan Undang-Undang Pemberontakan," kata Esper kepada wartawan.
Esper merujuk pada UU tahun 1807 yang memungkinkan presiden mengerahkan militer AS untuk meredam kekacauan sipil.
Sebelumnya
CNN melaporkan, beberapa orang yang mengetahui masalah tersebut mengatakan komentar Esper di Gedung Putih dinilai terlalu buruk, dan kedudukannya sudah dianggap lemah.
Pekan lalu, Sekretaris Pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany, tidak langsung menjawab pertanyaan apakah Trump masih mempercayai Esper.
"Hingga sekarang, Menhan Esper tetaplah Menhan Esper," kata McEnany.
"Mengenai apakah Presiden memiliki kepercayaan, saya akan mengatakan jika dia kehilangan kepercayaan pada Menhan Esper, saya yakin Anda semua akan menjadi orang pertama yang tahu. Jika Presiden kehilangan kepercayaan, kita semua akan belajar tentang itu di masa depan," kata McEnany saat konferensi pers.
Kepada CNN, pejabat Kemenhan AS mengatakan ada ketidaknyamanan yang terasa semakin meningkat di Pentagon, bahkan sebelum Trump mengumumkan bahwa ia siap untuk mengerahkan tentara reguler jika para pemimpin daerah gagal melakukan penegakan hukum terhadap para pembuat onar saat unjuk rasa George Floyd.
Ketika gas air mata ditembakkan di udara di Taman Lafayette Square di seberang Gedung Putih, Trump mengumumkan dari Kebun Mawar jika para pemimpin negara bagian atau kota menolak mengambil tindakan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan properti penduduk, maka ia akan menggunakan UU Pemberontakan.
 Seorang demonstran unjuk rasa kematian George Floyd berteriak di hadapan anggota korps Garda Nasional Minnesota, di Minneapolis, Amerika Serikat. (AP/John Minchillo) |
Ancaman itu memicu pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari para mantan pemimpin militer, termasuk eks Menteri Pertahanan James Mattis.
Dalam sebuah pernyataan Mattis mengatakan, "(Trump) adalah presiden pertama dalam hidup saya yang tidak mencoba menyatukan rakyat Amerika, bahkan tidak berpura-pura mencoba. Sebaliknya dia mencoba memecah kita. Kami menyaksikan konsekuensi dari tiga tahun upaya yang disengaja ini. Kami menyaksikan konsekuensi dari tiga tahun tanpa kepemimpinan yang matang".
(ans/ayp)
[Gambas:Video CNN]