Israel bertekad untuk mencaplok wilayah pemukiman Tepi Barat dari tangan Palestina kendati menuai kecaman dari dunia internasional. Aneksasi Tepi Barat merupakan bagian dari rangkaian proses perdamaian Israel-Palestina gagasan Amerika Serikat yang kontroversial. Dalam proposal damai itu, Israel akan mencaplok 30-40 persen wilayah Tepi Barat, termasuk seluruh area Yerusalem Timur, dari Palestina.
Sejak 1967, Israel telah menduduki dan memperluas permukiman di Tepi Barat secara ilegal. Hingga kini, sekitar 650 ribu warga Israel tinggal di lebih dari 100 perumahan di Tepi Barat bersama dengan warga Palestina.
Bagi para pemimpin Israel, Yerusalem digambarkan sebagai model koeksistensi, ibukota 'persatuan, abadi' bagi orang-orang Yahudi. Warga Palestina yang mendiami daerah tersebut mendapat diskriminasi, mulai dari kehilangan lahan hingga status kewarganegaraan lantaran diusir dari tanah mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk pada Undang-Undang Hak Milik Israel Absentee 1950, negara dimungkinkan untuk mengambil alih properti apapun yang pemiliknya tinggal di 'negara musuh'. UU ini yang digunakan untuk menyita ratusan ribu tanah dan rumah warga Palestina pada 1948.
Israel kemungkinan akan menyalahgunakan UU yang sama untuk mencaplok Tepi Barat. Kendati kelompok pejuang hak asasi manusia mengatakan jika dalam beberapa dekade terakhir, Israel telah menyalahgunakan hukum untuk menyita rumah di Yerusalem dan mengusir warga Palestina.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu bertekad untuk mencaplok semua permukiman di Tepi Barat kendati tidak jelas kapan rencana itu akan ditindaklanjuti. Palestina secara tegas menentang rencana tersebut.
Lembaga HAM Peace Now menemukan bukti diskriminasi lahan secara sistematis dan sekitar setengah dari semua perumahan Palestina di Yerusalem timur telah dibangun tanpa mengantongi izin. Di sisi lain, warga Palestina berisiko digusur oleh otoritas Israel.
![]() |
"Itu (aneksasi) bukan sesuatu yang akan kita lihat di hari pertama, dan itu bukan sebuah pengumuman besar. Tetapi itu berpotensi menjadi langkah Israel bukan hanya melarang pemiliknya mengakses lahan mereka, tetapi juga mengambil alih tanah mereka," ujar seorang ahli kebijakan di Peace Now, Hagit Ofran seperti dikutip Associated Press.
Ketika tanahnya dicaplok, warga Palestina tidak mungkin mendapat tawaran kewarganegaraan Israel ataupun akses layanan sosial. Hal itu lantaran Israel lebih tertarik untuk melestarikan warganya yang mayoritas keturunan Yahudi.
Sumarin merupakan salah satu warga Palestina yang telah menghabiskan waktu 30 tahun terakhir untuk membuktikan kepemilikan rumahnya di Silwan, Yerusalem timur daerah yang diincar Israel untuk dihuni oleh Yahudi. Silwan masuk dalam area Palestina yang kumuh dan berada dekat dengan situs reliji Noble Sanctuary atau Temple Mount.
Seperti halnya Sumarin, Jawad Siyam juga harus kehilangan halaman belakang rumahnya yang telah dihuni selama puluhan tahun kini telah dikuasai Israel.
Jawad mengatakan tahun lalu Israel mengambil alih tanahnya dan mendirikan pemukiman Yahudi di bawah UU Hak Milik. Tak sampai di situ, klaim kepemilikan lahan juga terus berlanjut hingga meluas ke area-area sekitar di kediamannya.
Kini, sejumlah penduduk Israel memulai proses pembangunan pemukiman ilegal di selatan jelang aneksasi Tepi barat dengan menyita tanah-tanah dari warga Palestina. Para pemukim juga telah menancapkan bendera-bendera Israel di sekitar area tersebut.
Sejumlah saksi mata menuturkan banyak pemukim Israel yang menyita tanah-tanah di utara Desa Halhul di Hebron, Tepi Barat. Militer Israel pun sudah melarang warga Palestina memasuki area Halhul.
Palestina mengancam akan membatalkan seluruh perjanjian damai dengan Israel jika rencana aneksasi tetap dilakukan. Namun, baru-baru ini, Palestina mulai membuka diri dan menyatakan siap melakukan dialog langsung dengan Israel terkait hal ini jika Tel Aviv membatalkan rencana aneksasi.
(ans/evn)