Salah satu situs warisan dunia, Hagia Sophia, di Istanbul kembali diperbincangkan setelah Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengembalikan fungsi bangunan bersejarah itu dari museum menjadi masjid.
Upaya untuk mengubah fungsi Hagia Sophia sebagai masjid sebenarnya sudah muncul sejak 2010. Namun, di era kepemimpinan Erdogan, upaya perubahan fungsi bangunan era Kekaisaran Byzantium ini semakin gencar dilakukan.
Erdogan berhasil mengembalikan status Hagia Sophia sebagai masjid pada pekan lalu setelah pengadilan negara membatalkan keputusan presiden pertama Turki, Mustafa Kemal Ataturk, pada 1935. Keputusan itu menjadi dasar pemerintahan Ataturk yang beraliran nasionalis sekuler mengubah bangunan Hagia Sophia yang semula merupakan masjid di era Kesultanan Ottoman menjadi museum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Sekolah Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia, M Sya’roni Rofii, mengatakan menjadikan Hagia Sophia kembali sebagai masjid merupakan ambisi terpendam kaum Islam konservatif Turki, termasuk Erdogan yang merupakan lulusan “pesantren” Imam Hatip High School.
Dalam banyak kesempatan, Erdogan kerap memuja kekaisaran Ottoman Turki sebagai era kejayaan Turki. Selama periode itu Islam memang begitu kuat dan disegani.
Erdogan disebut kerap mengkritik kebijakan peninggalan pendahulunya, Kemal Ataturk, karena dinilai berupaya mempengaruhi Turki dengan nilai-nilai asing melalui pemerintahan yang sekuler.
“Dia (Erdogan) pernah mengatakan bahwa semasa muda dia bermimpi jika kelak menjadi seorang pemimpin, ia akan mengubah Hagia Sophia sebagai masjid lagi. Jadi, langkah ini bisa dibilang merealisasikan mimpinya (Erdogan) dan kaum Islam konservatif,” kata Sya’roni kepada CNNIndonesia.com pada Rabu (15/7).
Melansir New York Times, Erdogan bahkan disebut sangat kegirangan hingga tidak bisa tidur setelah pengadilan negara menyetujui keputusannya mengubah Hagia Sophia sebagai masjid lagi.
Erdogan menganggap keputusan pengadilan soal Hagia Sophia pada pekan lalu menandai era sekuler telah berakhir. Sya’roni menuturkan perubahan status Hagia Sophia sebagai masjid juga bisa dilihat sebagai kekalahan kaum sekuler Turki.
Kelompok sekuler Turki, kata Sya’roni, menjadi pihak yang sangat menyayangkan keputusan Erdogan ini. Menurut kaum sekuler, penetapan Hagia Sophia sebagai museum merupakan langkah paling tepat dan netral lantaran bangunan bersejarah itu pernah menjadi tempat beribadah umat Islam dan Kristen.
“Tentu saja keberadaan Hagia Sophia sekarang ini sebagai masjid bisa disebut kekalahan kaum sekuler Turki. Padahal, Hagia Sophia sebagai museum merupakan nilai plus bagi Turki karena bisa menjadi simbol perdamaian dan toleransi,” ujar Sya'roni.
![]() |
Sya’roni mengatakan selain mewujudkan ambisi pribadi, langkah Erdogan mengubah Hagia Sophia sebagai masjid juga diduga didorong kepentingan politik untuk mengamankan posisi di pemilihan umum Turki pada 2023 mendatang.
Sebab, saat ini perekonomian Turki terus melemah setelah diguncang pandemi virus corona (Covid-19). Banyak pihak terutama oposisi yang menganggap Erdogan lambat menangani penularan virus corona di Turki yang kini mencapai 214.993 kasus dengan 5.402 kematian.
Hal itu membuat citra Erdogan terutama di kalangan pendukungnya yang sebagian besar berasal dari kaum konservatif mulai mempertanyakan kepemimpinannya.
“Saat ini situasi ekonomi Turki tidak sedang baik-baik saja sehingga perlu mood booster istilahnya untuk sampaikan ke publik bahwa kepemimpinan Erdogan masih sama. Dan langkah ini (perubahan Hagia Sophia menjadi masjid) tentu saja menarik kaum konservatif Islam Turki agar tetap loyal mendukung Erdogan,” ujar Sya’roni.
Di samping itu, Erdogan juga terus terancam dengan kehadiran partai politik baru Gelecek Partisi atau Partai Masa Depan yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu.
Davutoglu bersama dengan Erdogan mulanya adalah anggota Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi / AKP). Mereka dinilai dekat dengan gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) yang berpusat di Mesir.
Akan tetapi, keduanya terlibat persaingan memperebutkan kekuasaan di internal partai. Hal itu terlihat ketika Davutoglu dan Erdogan mendukung kandidat berbeda dalam pemilihan kepala daerah pada 2015 silam.
Alhasil, Davutoglu dan Erdogan pecah kongsi. Davutoglu memutuskan mundur dari AKP dan mendirikan partai baru.
Sya’roni mengatakan Davutoglu menjadi sosok politikus baru yang cukup mendapat simpati dan disegani oleh kaum konservatif. Ia bahkan diperkirakan menjadi pesaing terkuat Erdogan dalam perebutan kursi kepresidenan Turki.
Karena itu, Sya’roni menuturkan Erdogan berupaya mencuri langkah dari Davutoglu untuk mempertahankan suaranya di kalangan kaum konservatif dengan mengubah status Hagia Sophia sebagai masjid.
“Dia (Davutoglu) adalah politikus dan akademisi yang taat (Islam) dan juga dekat dengan kaum konservatif. Dia punya magnet di kalangan konservatif sehingga Erdogan berpikir sebelum suara konservatif pindah ke rivalnya ini, ia perlu ambil langkah yang bisa membuat dukungan konservatif tetap loyal. Yaitu dengan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid,” kata lulusan Hubungan Internasional dan Ilmu Politik Universitas Marmara Turki itu.
Pendapat serupa juga diutarakan oleh peneliti French Institute for Anatolian Studies, Jean Marcou. Marcou melihat perubahan status katedral era Byzantium menjadi masjid ini memungkinkan Erdogan memperluas dukungan dari kelompok berbasis Islam dan nasionalis Turki.
“Status museum Hagia Sophia dilihat oleh banyak pendukung Erdogan sebagai perampasan. Erdogan bermaksud menegaskan kembali kekuatan Turki dengan identitas Islamnya dengan perubahan ini,” ujar Marcou dikutip AFP.
Direktur German Marshall Fund yang berbasis di Ankara, Ozgur Unluhsircikli, menuturkan perubahan Hagia Sophia menjadi masjid tentu akan mengambil hati dan pikiran sebagian besar publik Turki karena mayoritas warga negara itu “akan mendukung keputusan yang berbau sentimen keagamaan atau nasionalis”.
“Ini adalah persaingan di mana Erdogan tidak boleh kalah dan oposisinya juga tidak dapat menang. Faktanya, isu perubahan status Hagia Sophia ini bisa memecah belah partai oposisi juga,” papar Unluhsircikli.
(rds/ayp)