Ribuan penduduk Thailand berunjuk rasa pada akhir pekan lalu di Monumen Demokrasi Bangkok, menuntut pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha mundur, karena dinilai tidak mampu menangani krisis ekonomi yang dipicu pandemi virus corona (Covid-19).
Dilansir AFP, Senin (20/7), para demonstran juga menuntut pemerintah menghapus undang-undang pencemaran nama baik Kerajaan Thailand yang selama ini masih digunakan.
Undang-undang pencemaran nama baik di Kerajaan Thailand dinilai melindungi pemerintahan monarki Raja Vajiralongkron Rama X supaya bebas dari kritik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstrasi ini menjadi aksi protes terbesar di Thailand sejak 2014 dan berlangsung hingga larut malam. Para demonstran yang didominasi pelajar itu turun ke jalan dengan mengenakan pakaian hitam.
Mereka menyanyikan lagu-lagu rap bernada anti-pemerintah dan melambai-lambaikan poster berisi kecaman terhadap pemerintahan mantan Prayut Chan-o-cha.
"Pemerintah tidak peduli dengan kita. Hukum melindungi orang kaya dan meninggalkan orang yang tidak punya apa-apa," kata seorang demonstran bernama Sang.
"Kita harus keluar (untuk bersuara), tidak ada lagi yang tersisa," tambah rekan Sang, Mee.
Ketika malam tiba, para demonstran menyinari kerumunan dengan lampu-lampu dari kamera ponsel mereka. Sebelumnya, ratusan polisi sempat berusaha menghalangi akses ke Monumen Demokrasi.
Aksi demonstrasi tersebut bubar sekitar tengah malam, tapi demonstran mengatakan akan kembali ke jalan dalam dua pekan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Akibat pandemi, sektor pariwisata dan ekspor di Thailand pun goyah. Ekonomi Thailand juga diperkirakan akan turun hingga 10 persen pada tahun ini.
Meskipun Thailand belum mencatat kasus penularan Covid-19 baru lewat transmisi lokal dalam hampir dua bulan, keadaan darurat di Thailand tetap diberlakukan agar pencegahan virus tetap terkendali.
Hingga kini, angka positif Covid-19 di Thailand berjumlah 3.250 kasus, 58 pasien meninggal, dan 3.096 orang dinyatakan sembuh.
(ans/ayp)