ANALISIS

Masjid Hagia Sophia, Politik Erdogan dan Nabi Muhammad

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Jumat, 24 Jul 2020 18:06 WIB
Rektor UII, Komaruddin Hidayat menilai langkah Turki menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid menyalahi ajaran Nabi Muhammad.
Foto: AP/Emrah Gurel

Komaruddin menyayangkan langkah Erdogan ini. Menurutnya, Hagia Sophia merupakan bangunan yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dan sepatutnya dipertahankan sebagai museum.

Berdiri gagah di tepi Selat Bosphorus, Istanbul, Hagia Sophia awalnya merupakan gereja yang dibangun Kekaisaran Roma saat menguasai Turki sekitar 1.500 tahun lalu.

Ketika itu Istanbul masih bernama Konstantinopel yang menjadi ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, yang kelak disebut Kekaisaran Byzantium.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembangunan Hagia Sophia berlangsung enam tahun dan pertama kali dibuka sebagai gereja ortodoks setinggi dua lantai dengan kubah besar yang dikelilingi empat kubah kecil dan empat menara pada tahun 537.

Hagia Sophia bertahan sebagai gereja selama 916 tahun hingga tahun 1453, sebelum Kesultanan Ottoman akhirnya merebut Konstantinopel dari tangan Kekaisaran Byzantium.

Sang pemimpin saat itu, Sultan Mehmed II, langsung memerintahkan arsitek bernama Sinan untuk mengubah fungsi Hagia Sophia dari gereja menjadi masjid serta menutup ikon Kristen termasuk lukisan Kristiani di dinding-dinding bangunan tersebut dengan plester putih.

Mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu menganggap keputusan Erdogan mengubah Hagia Sophia sebagai masjid menyalahi ajaran Al Quran dan Nabi Muhammad SAW jika dilakukan untuk menunjukkan kekuatan Islam dari agama-agama lain.

Mengutip Al Quran, Komaruddin mengatakan Islam bahkan tidak mengajarkan untuk menghancurkan apalagi mengubah tempat ibadah agama lain untuk dijadikan masjid.

"Itu kuat sekali tertulis dalam Al-Quran. Nabi Muhammad SAW bahkan sahabatnya, Umar bin Khattab, tidak pernah menghancurkan atau mengubah gereja menjadi masjid," kata Komaruddin.

Senada dengan Komaruddin, kolumnis New York Times, Mustafa Akyol, turut menyayangkan langkah Erdogan ini.

"Sekelompok umat Muslim, termasuk saya, tidak nyaman dengan langkah bersejarah (Erdogan) ini dengan alasan: bahwa pemaksaan terhadap perubahan tempat beribadah atau kuil telah terjadi berkali-kali dalam sejarah manusia dari segala arah bahkan dapat diperdebatkan dari sudut pandang Islam murni," kata Mustafa dalam tulisan kolomnya berjudul 'Would the Prophet Muhammad Convert Hagia Sophia?'

Sama seperti Komaruddin, Akyol juga mengutip ajaran Al Quran yang tidak membenarkan penghancuran tempat ibadah agama lain meski wilayah tersebut didominasi umat Islam.

Infografis Fakta Menarik Hagia SophiaFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian
Infografis Fakta Menarik Hagia Sophia

Akyol mengutip surat Al Hajj, surat ke-22 Al Quran, ayat 40 yang memiliki arti:

"(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa."

"Pluralisme agama tercermin dalam Al_Quran, ketika dikatakan Tuhan melindungi "biara-biara, gereja, sinagoge, dan masjid-masjid di mana nama Tuhan banyak disebutkan. Itu adalah satu-satunya ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan gereja dan hanya dengan nada terhormat," kata Akyol.

Dalam kolomnya itu, Akyol juga bercerita bahwa semasa perang demi menyebarkan ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memandang agama monoteisme lainnya seperi Yahudi dan Kristen bukan sebagai lawan, tetapi sekutu.

Ketika kaum Muslim dianiaya di Mekkah oleh kaum kafir, beberapa dari mereka lari dan berlindung di gereja-gereja Kristen di Ethiopia.

Akyol mengatakan ketika Nabi Muhammad SAW memerintah Madinah, ia bahkan menyambut sekelompok Kristiani di Kota Najran untuk beribadah di masjidnya sendiri.

"Tidak ada gangguan dengan praktik iman mereka, tidak ada uskup yang dipindahkan dari keuskupannya, tidak ada biarawan yang diusir dari biara, tidak ada biksu yang dipindahkan dari kuilnya pada masa itu," ujar Akyol.

Akyol mengatakan tak hanya Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khattab pun tidak pernah mengganggu tempat dan praktik ibadah agama lain ketika memperluas pengaruh Islam. Saat Umar menaklukkan Jerusalem, para umat Kristen dan Yahudi di kota itu khawatir akan dibantai dan diusir.

"Namun, Khalifah Umar malah melindungi mereka. Orang-orang Kristen yang semula takut akan pembantaian malah menemukan rasa aman di tangan Umar. Umar bahkan memberikan keamanan terhadap harta benda, gereja, hingga salib mereka," ujar Akyol.

"Gereja-gereja mereka tidak diambil dan tidak dihancurkan atau bahkan salib-salib mereka juga tidak dihapus," paparnya menambahkan.

(evn/evn)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER