Iran membantah tuduhan bahwa mereka mencoba mengganggu pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun ini melalui serangan siber.
Juru Bicara Duta Besar Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Alireza Miryousefi, mengatakan bahwa tuduhan itu tidak lebih dari skenario untuk merusak kepercayaan pemilih dalam keamanan pemilu AS, dan tidak masuk akal.
"Iran tidak tertarik untuk ikut campur dalam pemilihan AS dan tidak ada keuntungan untuk hasilnya," ujar Alireza di New York, seperti dilansir ABC News dan dikutip Middle East Monitor, Jumat (23/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Intelijen Nasional AS, John Ratcliffe, dan Direktur Biro Penyelidikan Federal AS (FBI), Chris Wray, kemarin menuduh Rusia dan Iran mencoba mengacaukan pemilihan presiden pada 3 November mendatang.
Bentuk intervensi itu salah satunya adalah pengiriman surat elektronik berisi intimidasi terhadap para simpatisan Partai Demokrat supaya mereka memilih kandidat petahana, Donald Trump.
Pengumuman itu dilakukan dua pekan menjelang pilpres, dan juga menyoroti upaya negara lain untuk turut campur dalam ajang itu dengan menyebarkan informasi guna menekan tingkat keikutsertaan dan menurunkan tingkat kepercayaan para calon pemilih untuk memberikan suara mereka.
"Kegiatan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang putus asa," kata Ratcliffe, seperti dilansir Associated Press.
Lebih lanjut ia menyatakan pemerintah AS bakal membalas upaya untuk mengacaukan pilpres 2020 yang dilakukan pihak asing.
"Anda harus yakin bahwa suara Anda penting. Sedangkan klaim yang menyatakan sebaliknya harus ditelaah dengan sikap skeptis," ujar Wray.
Wray dan Ratcliffe tidak merinci seperti apa bentuk surel yang diduga dikirim oleh peretas Iran. Namun, menurut sumber yang memahami hal itu, surel itu dikirim kepada para calon pemilih di empat negara bagian yang akan menjadi medan pertarungan sengit untuk memperoleh suara antara Trump dan pesaingnya, Joe Biden.
Lihat juga:Iran Klaim Embargo Senjata dari PBB Berakhir |
Menurut sumber itu, surel tersebut mengatasnamakan kelompok supremasi kulit putih di AS, Proud Boys, dan berisi ancaman bahwa mereka akan memburu para calon pemilih jika tidak mau memilih Trump.
Kedua pejabat itu juga menuduh Iran dan Rusia sudah memegang data calon pemilih, meski faktanya data itu memang mudah diakses oleh siapa saja.
Iran, kata mereka, menggunakan data itu untuk mengirim surel palsu kepada calon pemilih di sejumlah negara bagian, termasuk Pennsylvania dan Florida.
(ndn/ayp)