Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Senin (26/10) kemarin menjatuhkan sanksi baru kepada Iran di sektor energi, termasuk atas penjualan minyak ke Suriah dan Venezuela.
Kementerian Keuangan AS memasukkan Perusahaan Minyak Nasional Iran, Kementerian Perminyakan Iran, dan Perusahaan Tanker Nasional Iran ke dalam daftar lembaga yang diawasi terkait aktivitas terorisme.
Mereka menuduh ketiga lembaga itu terkait dengan aktivitas Korps Pasukan Quds dari Garda Revolusi Iran. AS sudah memasukkan Pasukan Quds ke dalam daftar organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komandan Pasukan Quds, Jenderal Qasem Soleimani, tewas dalam serangan drone AS di bandara Baghdad, Irak, pada Januari lalu.
Kemenkeu AS mengatakan bahwa jaringan yang didukung oleh Pasukan Qods mengirimkan lebih dari selusin kapal tanker minyak pada musim semi 2019, sebagian besar ke Suriah. Iran adalah salah satu sekutu utama Presiden Suriah, Bashar al-Assad, yang membantu pemerintah setempat menghadapi perang saudara.
Selain itu, Kemenkeu menjatuhkan sanksi kepada pengusaha Iran yang berbasis di Inggris, Mahmoud Madanipour, dan perusahaan terkait untuk transaksi dengan Venezuela.
Mereka menuduh Madanipour mengatur pengiriman puluhan ribu metrik ton bahan bakar ke Venezuela yang bertikai dengan AS.
AS gagal menggulingkan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, yang baru-baru ini semakin mengeratkan hubungan ekonomi dengan Iran.
Dilansir AFP, Selasa (27/10), Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, mengatakan sanksi tersebut harus menjadi peringatan kepada para pembeli minyak mentah dari Iran.
"Hal ini merupakan langkah penting dalam kampanye tekanan maksimum untuk membatasi kemampuan rezim Iran (dalam) mengancam tetangganya dan mengguncang Timur Tengah," ujar Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Lihat juga:Iran Klaim Embargo Senjata dari PBB Berakhir |
Menteri Perminyakan Iran, Bijan Zanganeh, mengecam sanksi terbaru AS. Dia mengatakan kebijakan itu adalah upaya AS dalam menjatuhkan ekspor minyak mentah Iran.
"Saya tidak memiliki aset di luar Iran untuk dikenakan sanksi. Saya akan mengorbankan hidup, harta benda, dan reputasi saya untuk Iran," cuit Zanganeh di Twitter.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif menyebut AS sebagai pecandu sanksi dalam cuitannya di Twitter.
"Hentikan kebiasaan itu," cuit Zarif.
Sejak 2018, pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi besar-besaran yang bertujuan untuk mengakhiri semua bentuk ekspor minyak Iran. Amerika Serikat berusaha menutup sumber pemasukan Teheran.
Jika Trump kalah dalam pemilu AS, maka sanksi itu menjadi salah satu serangan terakhirnya terhadap para pemimpin Iran.
Sanksi baru itu disebut akan mengurangi ruang gerak kandidat presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden, apabila ia memenangkan pemilu AS pada pekan depan.
Biden yang saat ini memimpin dalam perolehan jajak pendapat, mendukung diplomasi dengan Iran dan mendukung kesepakatan nuklir yang dinegosiasikan di masa pemerintahan Presiden Barack Obama. Saat itu Iran bersedia membatasi aktivitas pengayaan uranium dan program nuklir, dengan imbalan keringanan sanksi.
Pada awal Oktober, pemerintah AS mengambil langkah untuk melumpuhkan ekonomi Iran dengan menjatuhkan sanksi pada bank-bank negara itu. Langkah itu membuat sebagian besar transaksi Iran dengan dunia luar menjadi sulit.
(ans/ayp)