Salah satu kebijakan ekstrem Trump yang dinilai fatal dan harus segera dipulihkan oleh Biden adalah ketika AS menarik diri keluar dari perjanjian nuklir 2015 dengan Iran dan lima negara lainnya.
Perjanjian yang digagas pendahulu Trump, Barack Obama, itu dinilai terobosan bagi keamanan dunia selama beberapa dekade terakhir.
Perjanjian itu berhasil membujuk Iran agar tidak mengembangkan ambisi senjata nuklir dan rudal dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi. Namun, Trump merasa Iran tak cukup patuh dan menganggap perjanjian nuklir itu sebagai kesepakatan terburuk sepanjang sejarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya keluar dari kesepakatan, Trump juga kembali menerapkan serangkaian sanksi terhadap Iran. Sejak itu, Iran bersumpah tak akan menaati kesepakatan nuklir dan mulai kembali mengembangkan pengayaan uranium dan teknologi senjata.
Kebijakan Trump yang terus menekan Iran dinilai tidak berbuat banyak untuk "menakut-nakuti" negara di Timur Tengah itu untuk mengembangkan senjata rudal dan nuklir.
Dalam kondisi ini, Biden dihadapkan pada dua tekanan yakni mencoba menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran dan di saat bersamaan menangani program rudal balistik negara itu yang terus berkembang.
Sejauh ini, Iran menegaskan tidak akan bernegosiasi lagi terkait perjanjian nuklir dengan AS dan hanya akan mematuhinya lagi jika Gedung Putih mau mencabut sanksi.
"Akan sulit bagi Biden (ibaratnya) untuk menjinakkan jin ke dalam botol lagi dalam situasi seperti ini. Semua (kebijakan AS di tangan Trump) telah memicu respons Iran yang mengarah pada eskalasi kekerasan di Timur Tengah secara umum," kata Direktur Program Kawasan Timur Tengah International Crisis Group, Joost Hiltermann, seperti dikutip CNN.
"Sampai-sampai kita bisa melihat beberapa insiden di mana konflik besar bisa terjadi, tapi ternyata tidak, jadi kita beruntung. Tapi pada dasarnya, ini semua keberuntungan," paparnya menambahkan.
Hiltermann menyinggung insiden Iran menembak jatuh drone AS di Selat Hormuz pada 2019; serangan pada fasilitas minyak Arab Saudi, Aramco; hingga pembunuhan jenderal tinggi Iran, Qasem Soleimani di Irak pada Januari 2020.
Menurutnya ketiga insiden itu membawa AS dan Iran di ambang perang.
"Setiap insiden itu dapat memicu eskalasi yang lebih luas dan menyebabkan konfrontasi," kata Hiltermann.
Sejumlah pengamat menganggap musuh AS seperti Rusia dan China memanfaatkan kepemimpinan Trump sebagai peluang mereka untuk memperluas pengaruhnya di dunia.
Sikap Trump selama menjabat di Gedung Putih dinilai membuat sebagian besar negara terutama sekutu tak lagi bisa mengandalkan AS.
Editor tabloid pemerintah China Global Times, Hu Xijin, mengunggah pertanyaan di Twitternya, "Apakah Warga Amerika masih mengenali negaranya? Bagaimana orang China bisa terus memuji dan mencontoh AS?"
Pertanyaan itu diutarakan Hu menanggapi kerusuhan di Capitol. Kerusuhan tersebut dinilai banyak pihak semakin mencoreng demokrasi AS.
Akibat kerusuhan pendukung Trump di Capitol Hill, semakin banyak negara yang sudah tidak lagi percaya dan tidak lagi menganggap AS sebagai contoh demokrasi.
Biden sendiri tampak menyadari hal tersebut. Dalam pidatonya akhir Desember lalu, Biden mengatakan bahwa AS harus "mendapatkan kembali kepercayaan dan keyakinan dunia yang telah mulai menemukan caranya sendiri untuk bersikap di sekitar kita atau tanpa kita."
Sharon Squassoni dari George Washington University's Institute for International Science and Technology Policy mengatakan untuk memulihkan citra AS, Biden harus kembali mengedepankan diplomasi dan memaksimalkan kebijakan luar negeri AS untuk bekerja sama dengan negara seperti Rusia dan China.
Lihat juga:Trump Tinggalkan Surat untuk Joe Biden |
Menurut Squassoni, kebijakan AS yang terus menganggap Rusia dan China sebagai lawan tidak dapat banyak membantu Negeri Paman Sam untuk mendapatkan pengaruhnya kembali di dunia.
"Biden memiliki pengalaman puluhan tahun dalam kebijakan luar negeri dan koneksi yang banyak ini harus dimanfaatkan lagi," katanya.
Squassoni juga mengatakan Biden harus menghilangkan fokus Trump selama ini terhadap "narasi persaingan kekuatan besar" antara AS, Rusia, dan China.
"Satu hal yang saya pelajari selama beberapa dekade terakhir bahwa AS mungkin memang negara adidaya, tetapi AS tidak dapat menyelesaikan tugas-tugas yang ada, seperti proliferasi nuklir, secara sendiri," katanya.
Hal senada juga diutarakan Dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah. Rezasyah menganggap "kerusakan" yang dibuat Trump selama empat tahun terakhir membuat AS tak lagi diandalkan banyak negara, terutama para sekutunya.
Menurut Rezasyah, Biden tidak lagi bisa mengandalkan "kaki sendiri" untuk bangkit dan meraih kepercayaan dunia tanpa dibantu oleh negara besar seperti China.
"AS sudah tidak dipandang sebagai polisi dunia lagi dan banyak sekutu yang menganggap (AS) tidak bisa diandalkan lagi. Untuk itu, AS tidak bisa memperbaiki kerusakan ini sendiri," kata Rezasyah.
![]() |