Rekam jejak junta sejak pergolakan politik pada 1988 di Myanmar menunjukkan betapa bebal rezim militer. Meski diserbu berbagai desakan bahkan sanksi internasional, junta tetap bergeming.
Namun, Rezasyah mengatakan bahwa diplomasi tidak boleh lelah. Ia pun menganggap pengalaman-pengalaman konflik Myanmar di masa lalu justru dapat menjadi pelajaran untuk mengatasi masalah saat ini.
Rezasyah melihat junta militer tak bisa ditekan. Menurut Rezasyah, ASEAN harus pintar "mengambil hati" junta yang selama ini memang menganggap blok negara itu sebagai "satu-satunya rumah baginya yang paling aman, paling terhormat, dan paling santun."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian mencontohkan bahwa ASEAN bisa mengajak junta untuk "bersama-sama membangun Myanmar, tapi pemimpinnya tetap mereka [junta]. Harus ditimbulkan perasaan bahwa dia itu di atas. Driver, bukan passenger. Harus ditimbulkan bahwa dia itu di atas, pemimpin."
"Harus ada juga jaminan dari ASEAN bahwa selama masa transisi, kami [ASEAN] akan melindungi Anda [Myanmar] dari cercaan pihak luar," ucap Rezasyah.
Rezasyah tak memungkiri bahwa pendekatan semacam ini akan menimbulkan cibiran bagi ASEAN. Namun menurut Rezasyah, pendekatan ini merupakan bentuk sikap "rendah hati" ASEAN di mata dunia.
"ASEAN harus berani rendah hati. Untuk suatu kemenangan jangka panjang, ya enggak apa-apa kalah-kalah sedikit di jangka pendek dengan 'mendampingi' Myanmar," tuturnya.
Ia kemudian berkata, "Diplomasi sulit di masa lalu bisa jadi pelajaran. Junta ini memang tidak bisa ditekan. ASEAN harus bermain cantik."
(has/dea)