ANALISIS

Bom Waktu Krisis Myanmar

CNN Indonesia
Kamis, 06 Mei 2021 07:37 WIB
Konflik di Myanmar selepas KTT ASEAN belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Dikhawatirkan melebar dan menjurus ke arah perang saudara.
Pedemo pro-demokrasi di Myanmar berlindung di balik barikade dari aparat keamanan. (AP/STR)

Di sisi lain, ada potensi krisis Myanmar bisa merembet dan meluas ke wilayah sekitarnya. Jika krisis terus memburuk dan skala kekerasan semakin sering terjadi, maka salah satu hal yang akan terjadi adalah gelombang pengungsi ke wilayah yang lebih aman.

Salah satu negara yang saat ini menjadi tumpuan para pengungsi di kawasan perbatasan adalah Thailand.

Menurut peneliti Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al Azhar Indonesia, Ramdhan Muhaimin, untuk saat ini Thailand mungkin masih bisa terima dengan jumlah penduduk Myanmar yang mengungsi menghindari konflik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun, kalau semakin banyak, maka pasti mereka juga akan kerepotan. Pengungsi itu kan butuh asimilasi dengan masyarakat dan prosesnya tidak mudah, pasti bisa menimbulkan gejolak sosial dan masalah baru," kata Ramdhan kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, aksi kekerasan yang terus terjadi bisa membuat Myanmar masuk dalam kekacauan (chaos). Sebab, gerakan menentang kudeta itu tidak hanya terjadi di daerah tertentu, tetapi hampir serentak di seluruh wilayah.

Hal itu membuat potensi konflik hampir terjadi di seluruh negeri. Dalam kondisi seperti itu, maka ketertiban dan keamanan masyarakat akan hilang seketika, dan membuat posisi warga sipil semakin rentan menjadi korban kejahatan.

"Bahkan sangat besar kemungkinan menjadi negara gagal," ujar Ramdhan.

Perang saudara juga bakal membuat permasalahan baru, yakni maraknya penyelundupan senjata. Persoalan itu akhirnya juga bisa berimbas mengganggu keamanan kawasan.

Terkait persoalan kegigihan kelompok oposisi untuk terus melakukan perlawanan, menurut Ramdhan hal itu tergantung dari ketersediaan logistik. Selain itu faktor semangat orang-orang yang terlibat dan taktik yang digunakan juga ikut menentukan.

Sebab, meski junta Myanmar dengan berbagai cara mencoba memotong arus informasi dengan memberedel surat kabar, memutus jaringan internet dan pemancar sinyal nirkabel, tetapi gerakan massa tetap berjalan.

Banyak hal yang membuat gerakan antikudeta di Myanmar masih terus menggeliat. Sebab, mereka juga belajar dari masa lalu ketika sebelum era transisi demokrasi. Saat itu para aktivis seperti Aung San Suu Kyi dan rekan-rekannya bergerak secara sembunyi-sembunyi.

Selain itu, Myanmar adalah negara yang memiliki sejarah panjang pemberontakan separatis dari latar belakang etnis. Metode gerilya juga terus digunakan para milisi untuk menggempur tentara sampai saat ini.

Kudeta yang kembali dilakukan militer Myanmar justru membuat para milisi etnis dan rakyat memilih bersatu untuk mempertahankan keinginan mereka untuk berdemokrasi.

"Satu-satunya hal yang menjadi prestasi rezim junta saat ini adalah seluruh negeri bersatu melawan mereka," kata peneliti independen terkait konflik, perdamaian dan hak asasi manusia di Myanmar, David Mathieson.

Menurut Direktur Institut Keamanan dan Studi Internasional Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Prof. Thitinan Pongsudhirak, rezim junta Myanmar salah perhitungan dengan melakukan kudeta. Dia mengatakan junta seolah merasa masih punya kekuatan untuk menekan rakyat, memberangus gerakan pro-demokrasi dan kemudian mengambil kekuasaan.

"Namun kali ini perlawanan kelompok pro-demokrasi lebih sengit. Ada perubahan besar dalam satu dasawarsa terakhir. Sekali saja rakyat keluar dari kegelapan selama lima dekade, mereka selamanya ingin tetap berada di bawah naungan cahaya demi masa depan yang lebih baik," kata Pongsudhirak, seperti dikutip dari The Irrawaddy.

(ayp/ayp)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER