Rencana PBB Hambat Junta Myanmar Beli Senjata Ditunda
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunda rencana pembahasan resolusi tidak mengikat untuk menyulitkan junta militer Myanmar membeli senjata, yang dikhawatirkan digunakan untuk memerangi kelompok pro-demokrasi.
Seharusnya pemungutan suara terkait resolusi itu digelar pada Selasa (18/5). Menurut sejumlah diplomat, penundaan itu dilakukan untuk menggalang dukungan lebih banyak dari sekitar 193 negara anggota Majelis Umum PBB.
Akan tetapi, belum diketahui kapan proses itu akan dilanjutkan, seperti dilansir Reuters.
Usulan resolusi itu diajukan oleh Liechtenstein yang didukung oleh Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa.
Menurut laporan, rancangan resolusi itu sudah dirundingkan selama beberapa pekan dan didukung oleh 48 negara. Namun, hanya Korea Selatan satu-satunya negara perwakilan kawasan Asia yang ikut membahas rancangan resolusi itu.
Isi rancangan resolusi yang diajukan Liechtenstein itu adalah penghentian segera pasokan, penjualan atau pengiriman senjata, amunisi dan peralatan militer lainnya untuk Angkatan Bersenjata Myanmar.
Selain itu, di dalam rancangan resolusi itu juga mendesak Angkatan Bersenjata Myanmar untuk mencabut status darurat militer, serta menghentikan seluruh bentuk kekerasan terhadap aksi unjuk rasa damai.
Draf resolusi itu juga mendesak militer Myanmar berhenti menyerang, melecehkan dan melarang tenaga kesehatan, aktivis hak asasi manusia, anggota serikat buru dan awak media dalam melaksanakan tugas. Mereka juga mendesak junta Myanmar mencabut pembatasan akses Internet dan media sosial
Kemudian, di dalam rancangan resolusi itu juga mendesak militer Myanmar untuk segera membebaskan tanpa syarat Presiden Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dijadikan tersangka terkait dengan kudeta pada 1 Februari.
Kemudian, draf resolusi itu juga mendesak penerapan lima poin yang diusulkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) yang digelar pada 24 April lalu di Jakarta. Lalu, militer Myanmar juga akan diminta membuka akses bagi utusan khusus PBB, Christine Schraner Burgener, dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.
Militer Myanmar beralasan mereka mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari karena ada indikasi kecurangan dalam pemilihan umum pada November 2020 lalu, dan menjaga demokrasi.
Sedangkan kelompok oposisi dan komisi pemilihan umum membantah tuduhan itu.
Sementara itu, jumlah korban tewas dalam gejolak politik di Myanmar sejak kudeta sampai saat ini dilaporkan mencapai 802 orang. Jumlah itu berdasarkan catatan lembaga Perhimpunan Bantuan Tahanan Politik Myanmar (AACP).
"Ini jumlah yang bisa diverifikasi oleh AAPP, ada kemungkinan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak," demikian isi pernyataan AAPP dalam jumpa pers.
Selain itu, AAPP menyatakan jumlah penduduk Myanmar yang ditahan akibat menentang kudeta sudah mencapai 4.120 orang. Sebanyak 20 orang di antaranya dijatuhi hukuman mati.
Amerika Serikat dan Inggris mengecam militer Myanmar yang menggunakan senjata untuk memerangi warga sipil.
(ayp/ayp)