Perceraian di China Turun Drastis Sejak Ada Masa Tenang

CNN Indonesia
Rabu, 19 Mei 2021 23:47 WIB
Angka perceraian di China dilaporkan menurun lebih dari 70 persen sejak diberlakukan periode wajib "cooling off" atau masa tenang awal tahun ini.
Ilustrasi warga China. (AFP/NOEL CELIS)
Jakarta, CNN Indonesia --

Angka perceraian di China dilaporkan menurun lebih dari 70 persen sejak diberlakukan periode wajib "cooling off" atau masa tenang awal tahun ini.

Menurut data statistik yang dirilis Kementerian Urusan Sipil China, di tahun 2021, pada kuartal pertama angka perceraian mencapai 296 ribu kasus. Padahal tahun lalu kuartal terakhir sebanyak 1,06 juta. Dari periode itu disimpulkan angka perceraian turun 70 persen.

Angka perceraian diklaim menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 turun 52 persen, saat kuartal pertama, angka perceraian tercatat 612 ribu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di bawah Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata baru yang mulai berlaku 1 Januari, tertulis bahwa pasangan yang mengajukan gugatan cerai harus menunggu 30 hari setelah pengajuan. Selama waktu itu, salah satu pihak dapat menarik gugatan.

Mereka kemudian harus mengajukan lagi setelah "masa tenang" habis agar pernikahan dapat diakhiri secara hukum.

Undang-undang itu, mengacu pada UU lokal yang sudah diterapkan terlebih dahulu di beberapa negara bagian.

Aturan itu juga dikritik lantaran menghambat kebebasan pribadi dan berpotensi menjebak orang dalam pernikahan yang tak bahagia atau yang dipenuhi kekerasan.

Tetapi para pendukung, menyebut aturan itu untuk memastikan stabilitas keluarga dan ketertiban sosial.

Perceraian di China dilaporkan terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Menurut Federasi Perempuan di China, sebagian karena mereduksi stigma sosial dan menjadi otonomi yang lebih besar bagi perempuan, yang mana 70 persen perceraian terjadi atas keinginan istri.

Hal tersebut memicu kekhawatiran di antara pembuat kebijakan. Sebab, tren itu muncul saat otoritas China mendorong pasangan rumah tangga untuk memiliki lebih banyak anak guna mencegah potensi bom waktu demografis.

"Pernikahan dan reproduksi sangat erat kaitannya. Penurunan angka pernikahan akan mempengaruhi angka kelahiran, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sosial," ujar seorang pejabat di Kementerian Urusan Sipil, Yang Zongtao saat konferensi pers tahun 2020, mengutip CNN.

"(Masalah) ini harus dikedepankan," ujarnya. Ia juga mengatakan kementerian akan meningkatkan kebijakan sosial yang relevan dan meningkatkan upaya propaganda untuk membimbing masyarakat membangun nilai-nilai positif tentang cinta, pernikahan dan keluarga.

Masa tenang diketahui menjadi bagian penting dari rencana tersebut. Mereka yang menikah juga akan mendapat insentif, dan bagi wanita agar memiliki anak daripada bekerja.

Tahun lalu, ada laporan yang menyebutkan pasangan bergegas untuk bercerai sebelum periode pendinginan mulai berlaku.

China bukan satu-satunya negara yang mengalami masa tenang seperti itu. Prancis dan Inggris Raya memiliki aturan yang tak jauh beda. Kedua negara itu membuat pasangan yang ingin bercerai menunggu dua dan enam minggu hingga pernikahan betul-betul diakhiri.

Pejabat China telah membela aturan tersebut sebagai pencegahan perceraian yang "impulsif". Ia menunjukkan bahwa dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, pihak-pihak masih dapat menuntut perceraian di pengadilan.

Namun, opsi ini jauh lebih memakan waktu dan mahal daripada mengajukan pembubaran perkawinan dengan pemerintah.

Sebuah laporan Mahkamah Agung Tiongkok tahun 2018, menemukan sekitar 66 persen kasus perceraian dibatalkan pada sidang pertama.

"Sangat sedikit kasus perceraian yang dapat disetujui dalam persidangan pertama," kata pengacara perceraian yang berbasis di Shanghai, Chen Jiaji tahun lalu.

Kasus perceraian, kata Jiaji, biasanya berlangsung setidaknya enam bulan, sementara kasus yang lebih rumit bisa berlangsung satu atau dua tahun.

Berbagai laporan telah membuktikan tidak berdampaknya periode pendinginan, yang dilihat oleh banyak orang sebagai pembatasan yang tidak perlu atas kebebasan pribadi.

Hal itu diketahui, setelah adanya kasus pembunuhan terhadap seorang perempuan oleh suaminya di provinsi Hubei, pada Januari lalu. Beberapa warganet mengaitkan kematiannya dengan periode tenang itu.

Minggu ini, ada reaksi keras atas rencana dua otoritas lokal untuk menangguhkan pendaftaran perceraian seluruhnya pada 20 Mei, salah satu dari beberapa tanggal yang secara informal dikenal sebagai "Hari Valentine China."

Pejabat di provinsi Hunan dan Guizhou mengatakan bahwa mereka tidak akan mengizinkan perceraian baru pada tanggal tersebut.

Hal itu menjadi ironi lantaran hari yang bagi masyarakat China penuh dengan cinta kasih berbalik arah setelah masifnya keluhan di media online.

(isa/dea)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER