Kabinet tandingan junta militer Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional/NUG menyatakan sudah tak percaya dengan upaya ASEAN membantu memulihkan krisis pasca-kudeta.
Pernyataan itu diutarakan salah satu menteri kabinet NUG setelah dua utusan tinggi ASEAN mengunjungi Myanmar untuk bertemu pemimpin junta pada pekan lalu.
Lawatan utusan khusus ASEAN itu dilakukan sebagai pemenuhan salah satu dari lima poin konsensus yang disepakati negara anggota di Jakarta pada April lalu soal penanganan krisis di Myanmar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami tak begitu yakin dengan upaya ASEAN. Seluruh harapan kami sudah pupus. Saya tidak yakin mereka (ASEAN) punya rencana yang solid terkait kredibilitas mereka dalam menangani krisis ini," kata Wakil Menteri Luar Negeri NUG, Moe Zaw Oo, dalam jumpa pers virtual pada Jumat pekan lalu.
Jumpa pers itu dilakukan NUG meski jaringan internet di sebagian besar wilayah Myanmar masih tetap padam akibat perintah junta Myanmar demi membungkam pemberontakan sipil.
Pada Jumat (4/6), Sekretaris Jenderal ASEAN, Lim Joch Hoi, dan Menteri Luar Negeri Brunei, Erywan Yusof, yang menjabat sebagai ketua asosiasi negara Asia Tenggara itu tahun ini, bertemu dengan pemimpin junta Myanmar, Min Aung Hlaing, di Naypyidaw.
Dilansir Reuters, stasiun televisi yang dikelola junta, Myawaddy TV, melaporkan pertemuan ketiganya membahas kerja sama terkait masalah kemanusiaan.
Media tersebut juga mengklaim bahwa dua pejabat ASEAN dan Aung Hlaing membahas pemilu yang akan digelar Myanmar ketika negara itu stabil.
Ketiga pejabat itu juga disebut membahas apa yang dianggap junta militer sebagai penyimpangan pada pemilu 2020 hingga menyebabkan "intervensi militer".
Sementara itu, hingga kini, ASEAN juga belum mengumumkan secara resmi kunjungan tersebut. Belum jelas pula apakah Lim dan Erywan akan turut menemui pihak NUG dan pemangku kepentingan lainnya dalam krisis politik Myanmar ini.
Myanmar masih terus berada dalam kekacauan politik dan ekonomi sejak militer menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Militer mengudeta pemerintahan sipil karena menuding kubu Aung San Suu Kyi melakukan kecurangan dalam Pemilu 2020.
Sejak saat itu, bentrokan terus terjadi hingga menewaskan lebih dari 800 orang. ASEAN pun berupaya memimpin upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis politik tersebut.
Min Aung Hlaing menghadiri pertemuan untuk membahas krisis di Myanmar bersama perwakilan setiap negara ASEAN pada April lalu.
Dalam pertemuan tertutup tersebut, para pemimpin menyepakati lima poin yang intinya segera menghentikan kekerasan dan mengirimkan utusan khusus ke Myanmar.
Namun, Min Aung Hlaing dalam sebuah wawancara di televisi mengatakan Myanmar belum siap mengadopsi rencana tersebut. Bentrokan di Myanmar pun masih terus berlangsung.
(rds/dea)