Junta militer Myanmar membela diri setelah dikritik sejumlah menlu Asia Tenggara karena dianggap tak mematuhi lima konsensus dalam KTT ASEAN untuk memulihkan demokrasi di negaranya.
Dalam pertemuan dengan ASEAN dan China pada Senin (7/6), Menteri Luar Negeri Myanmar versi junta, Wunna Maung Lwin, mengatakan bahwa cara terbaik untuk memulihkan demokrasi adalah dengan menjalankan lima janji yang mereka rilis tak lama setelah kudeta.
"Menteri memberi tahu pertemuan itu bahwa satu-satunya cara untuk memastikan sistem demokrasi yang disiplin dan murni adalah melalui lima poin program masa depan yang dideklarasikan pada Februari," demikian pernyataan kantor berita junta Myanmar, Global New Light of Myanmar (GNLM), Selasa (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana dikutip Reuters, menlu versi junta mengatakan bahwa sebagian besar janji itu sudah telah terealisasi, termasuk langkah-langkah pencegahan Covid-19.
Mereka juga membentuk komisi pemilihan umum baru, untuk menggelar pemilu ulang karena merasa dicurangi saat pemilu November 2020.
Dalam pertemuan itu, para menlu ASEAN menyampaikan kekecewaan mereka karena junta tak mengindahkan lima konsensus yang dicapai dalam KTT di Jakarta pada April lalu untuk menyudahi kekerasan dan mengajak dialog lawan-lawannya.
Kabinet tandingan junta, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pun mengaku sudah tak percaya lagi pada ASEAN. Mereka menganggap organisasi itu gagal memasukkan kepentingan rakyat Myanmar.
Dalam pertemuan di China itu, para menlu negara anggota ASEAN juga mengungkapkan kekecewaan atas kelambatan penanganan masalah di Myanmar setelah KTT.
"Mengenai Myanmar, lima poin konsensus itu merupakan terobosan penting, dan artinya ASEAN harus mendampingi Myanmar menuju kembali ke normal. Namun, kita harus mengakui bahwa perkembangan konsensus itu sangat lamban," kata Hussein setelah pertemuan.
Dalam kicauan di Twitter pada Senin (7/6) itu, Hussein juga menyatakan bahwa, "Komunitas internasional menanti tindakan ASEAN lebih jauh."
Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan, juga mengakui ASEAN lambat menangani situasi di Myanmar.
Namun menurutnya, upaya diplomatik ASEAN "hanya dapat berjalan jika ada kemauan tulus Myanmar sendiri untuk dialog, negosiasi, dan rekonsiliasi."
"Jujur, kami kecewa dengan perkembangan yang sangat, sangat, sangat lambat," ujar Balakrishnan setelah pertemuan sejumlah pemimpin ASEAN dengan China, seperti dikutip Reuters.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, lantas mengatakan bahwa bantuan China juga dibutuhkan dalam upaya menyelesaikan konflik ini.
"(Bantuan China akan) sangat dihargai karena akan berkontribusi untuk mencapai solusi damai," katanya.
(isa/has)