Terlepas dari berbagai prestasi internasional, di usia hampir 500 tahun pula, Jakarta masih juga menghadapi berbagai tantangan lain mulai dari banjir, kemacetan, kepadatan penduduk, hingga ketimpangan sosial.
Warga Jakarta sampai saat ini masih dihantui banjir. Pada Februari lalu sebagian besar wilayah Ibu Kota dilanda banjir.
Warga kini selalu waswas bila hujan datang. Hal itu dirasakan oleh Heni, warga Duren Sawit, Jakarta Timur. "Jadi deg-degan kalau hujan," kata dia, kala itu. .
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bencana banjir itu datang ketika Indonesia masih bergulat dengan peningkatan kasus penularan virus corona. BPBD Provinsi DKI Jakarta saat itu mencatat, 193 RT di Jakarta Selatan, Timur, dan Barat terendam banjir pada Sabtu (20/2).
Jika melihat ke belakang, banjir besar pernah terjadi pada tahun 1600-an, saat Jakarta masih bernama Batavia, lalu terjadi lagi pada 1918. Usai Indonesia merdeka, banjir besar juga pernah terjadi pada awal 1976.
Di dekade 2000-an, banjir besar pernah melanda Jakarta pada 2002 dan 2007. Banjir 2007 membuat setidaknya 80 jiwa melayang dan 320 ribu jiwa mengungsi.
Banjir besar lagi-lagi menerjang Jakarta pada 2015, saat itu, curah hujan masuk kategori ekstrem, yakni 170 mm per hari.
![]() |
Empat tahun berselang, tepatnya saat malam pergantian tahun 2020, banjir besar menerjang Jakarta. Setidaknya 15 persen warga terdampak banjir awal tahun itu.
Sementara itu, ketika pembangunan berbagai infrastruktur penunjang Jakarta sebagai kota pintar terus dipercepat, permukiman kumuh dan liar juga masih bercokol di beberapa wilayah Ibu Kota.
Per 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan ada 445 RW yang dinyatakan sebagai kawasan kumuh di Jakarta. Hanya 200 RW kabarnya yang masuk dalam rencana penataan community action plan (CAP) hingga 2022 nanti.
Usai dilantik Presiden Jokowi, Menteri Sosial Tri Rismaharini atau disapa Risma juga sempat melakukan blusukan dan mendapati sekelompok tunawisma masih berkeliaran di pusat Jakarta.
![]() |
Dari sisi lingkungan, kualitas udara Jakarta juga sering menjadi yang paling buruk. Pada 2019, polusi udara Jakarta sempat menjadi yang terburuk di dunia beberapa kali yakni pada saat libur Lebaran dan Oktober di tahun itu.
"Setidak-tidaknya 58,3 persen warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara yang trendnya terus meningkat setiap tahun," demikian Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara.
Pada April 2021, berdasarkan situs AirVisual, kualitas udara Jakarta juga menjadi keenam terburuk di dunia. Hal itu disebut terjadi akibat peningkatan volume kendaraan setelah setahun lebih menjalani pembatasan pergerakan akibat pandemi virus corona.
Di bulan yang sama, Perusahaan konsultan Verisk Maplecroft baru-baru ini melaporkan Jakarta menjadi kota dengan risiko bahaya lingkungan terbesar dari total 414 kota di dunia. Selain Jakarta, Kota Bandung dan Surabaya juga masuk 10 besar kota dengan risiko lingkungan terbesar versi perusahaan itu.
"Data kami mengungkapkan Jakarta adalah kota paling berisiko, sementara itu di seluruh dunia 414 kota-dengan lebih dari 1,4 miliar penduduk-juga dianggap berisiko tinggi atau ekstrem dari kombinasi polusi, pasokan air yang berkurang, tekanan panas ekstrem, bahaya alam, dan kerentanan terhadap perubahan iklim," bunyi laporan Verisk Maplecroft yang diakses Senin (21/6).