Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia dan India disebut tengah menghadapi gelombang kedua penularan Covid-19 yang lebih ganas akibat kemunculan varian Delta virus corona.
Berdasarkan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), India mulai mengalami lonjakan penularan corona pada awal Maret hingga mencapai puncaknya pada awal Mei lalu, di mana terdapat lebih dari 400 ribu kasus positif Covid-19 dalam sehari.
Salah satu penyebab lonjakan corona di India saat itu adalah perilaku abai warganya terhadap protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, masih banyak warga India yang tak mengenakan masker ketika di tempat publik dan transportasi umum.
"Kalau di Jakarta kan cenderung kita was-was. Di kendaraan umum seperti KRL juga bisa dilihat hampir semuanya menggunakan masker. Kalau di India itu dalam satu bus saja hanya beberapa yang pakai masker, sebagian lainnya tidak," kata seorang mahasiswi asal Indonesia di India, Anggy Eka Pratiwi, beberapa waktu lalu.
Perilaku bandel itu pun semakin terlihat ketika ribuan warga India tetap menghadiri ritual umat Hindu yakni mandi di sungai alias Kumbh Mela yang berlangsung di beberapa sungai di negara itu pada April lalu.
Belasan ribu warga tersebut sama sekali tak mengindahkan protokol kesehatan seperti tak memakai masker dan tidak menjaga jarak saat melakukan ritual tersebut.
Sejak upacara itu, ribuan orang orang terinfeksi Covid-19. Pemerintah bahkan mengumumkan upacara tersebut sebagai salah satu penyebab lonjakan infeksi corona.
Perilaku abai warga itu pun dipicu oleh sikap sejumlah pejabat pemerintah India. Di tengah lonjakan penularan corona, sejumlah politikus, partai politik, bahkan pejabat pemerintah, masih terus melakukan kampanye demi memenangkan sejumlah pemilihan kepala daerah.
Kampanye pilkada itu pun dilakukan oleh partai pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi, Partai Bharatiya Janata.
Situasi abai protokol itu lalu diperparah dengan kemunculan varian Delta corona yang dinilai ilmuwan lebih cepat menular.
Varian baru corona India ini disebut B1617 yang berasal dari mutasi ganda E484Q dan L452R. Varian corona baru ini terdeteksi pertama kali pada tahun lalu.
Meski begitu, WHO memaparkan langkah pemerintah India yang cukup cepat dalam melakukan pemeriksaan, tracing, dan penerapan pembatasan pergerakan, lonjakan Covid-19 bisa mulai terkendali.
Sementara itu, dalam dua pekan terakhir, Indonesia juga tengah menghadapi lonjakan penularan corona.
Pada Sabtu (26/6) dan Minggu (27/6) Indonesia mencatat rekor infeksi corona sampai 21 ribu kasus dalam sehari. Jumlah itu yang tertinggi sejak awal pandemi menyebar di Tanah Air.
Beberapa hari sebelumnya, Indonesia juga terus mencatat rekor kasus harian.
Sama seperti India, salah satu penyebab lonjakan Covid-19 di Indonesia adalah sikap sebagian masyarakatnya yang dinilai masih abai terhadap protokol kesehatan.
Ketika pemerintahan Presiden Jokowi menerapkan berbagai aturan pembatasan pergerakan mulai dari istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, masih banyak masyarakat yang berupaya melanggarnya.
Sebagai contoh, di momen Lebaran 2021 yang jatuh pada 12 Mei lalu, masih banyak masyarakat yang berupaya mudik atau melakukan perjalanan keluar kota lain. Padahal, pemerintah melarang mudik Lebaran.
Belum lagi kerumunan di pusat-pusat perbelanjaan dan pasar tradisional jelang Lebaran. Beberapa hari menjelang Idul Fitri, pengunjung pasar Tanah Abang membeludak hingga 100 ribu orang. Pusat-pusat perbelanjaan lain di Ibu Kota Jakarta juga sesak penuh pengunjung.
Di hari H Lebaran, masyarakat pun masih banyak yang melakukan halal bihalal dengan keluarga dan kerabat. Alhasil sejumlah klaster halal bihalal pun terjadi.
Sebanyak 62 warga Dusun Ngemplong, Ubulmartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, terjangkit Covid-19 usai menghadiri acara halal bihalal.
Kerumunan lainnya juga terjadi ketika warga Madura menolak tes swab dan penyekatan Jembatan Suramadu hingga berbuntut menggeruduk Balai Kota Surabaya pada 21 Juni lalu.
Kerumunan juga terjadi ketika Pengadilan Jakarta Timur membacakan vonis penjara 4 tahun bagi pentolan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab pada Kamis pekan lalu. Ratusan pendukung Rizieq mendatangi PN Jaktim hingga sempat terlibat bentrok dengan aparat kepolisian.
Selain itu, sistem kesehatan dan penanganan Covid-19 mulai dari sisi pelacakan (tracing), testing, maupun perawatan (treatment) juga belum sepenuhnya baik.
Saat kasus covid-19 tinggi di Januari lalu, tingkat ketersediaan tempat tidur rumah sakit di Indonesia juga nyaris penuh. Belum lagi lahan makam untuk Covid, terutama di Jabodetabek yang makin menyempit.
Kini, tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) sejumlah Rumah Sakit (RS) di kabupaten/kota, baik ruang isolasi maupun Intensive Care Unit (ICU) untuk perawatan pasien terpapar virus corona (covid-19) telah mencapai 100 persen.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terdapat 102 kabupaten/kota dengan tempat tidur isolasi dan 68 daerah dengan ICU Covid-19 masuk dalam kategori zona merah per 27 Juni 2021. Kategori zona merah RS didasarkan pada BOR yang sudah mencapai 80-100 persen.
Selain itu tingkat pemeriksaan Covid-19 menjadi salah satu yang terendah. Berdasarkan data Worldometer, tingkat testing Indonesia ada di peringkat ke-159 dengan kemampuan 70.698 pengujian per 1 juta populasi.
Hal itu menjadikan jumlah kasus penularan Covid-19 dan kematian bisa lebih tinggi dari yang terdata saat ini.
Tingkat vaksinasi yang rendah juga menambah rentan kondisi penanganan Covid-19 di Indonesia. Saat ini, berdasarkan ourworldindata.org, sebanyak 13 juta atau 4,8 persen total penduduk Indonesia telah melakukan vaksinasi lengkap.
Setidaknya, 23,05 persen dari total 273 juta penduduk telah menerima dosis pertama vaksin.