RI Minta Rusia Tekan Junta Myanmar Taati Konsensus ASEAN
Indonesia meminta Rusia untuk mengajak junta Myanmar segera menjalankan lima poin konsensus ASEAN sebagai langkah solusi untuk mengakhiri konflik politik di negara itu.
Hal itu diutarakan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, saat bertemu dengan Menlu Rusia, Sergei Lavrov, di Jakarta, Selasa (6/7).
"Saya telah meminta Rusia mendukung implementasi lima poin konsensus. Ini membutuhkan komitmen dari militer Myanmar untuk bekerja sama dengan negara anggota ASEAN lainnya dalam melaksanakan lima poin konsensus tersebut," kata Retno dalam pernyataan pers virtual bersama Lavrov usai pertemuan.
Lima poin konsensus ASEAN soal situasi Myanmar itu disepakati negara anggota, termasuk junta militer Myanmar, saat bertemu di Jakarta sekitar akhir April lalu. Pemimpin junta Myanmar yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi, Jenderal Min Aung Hlaing, bahkan turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Lima poin konsensus itu meliputi pertama, kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.
Kedua, segera mulai dialog konstruktif antara semua pihak terkait di Myanmar untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.
Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Terakhir, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
Sampai saat ini, progres implementasi kelima konsensus ASEAN itu dipertanyakan komunitas internasional. Di Myanmar, aparat keamanan masih menghadapi para pedemo anti-kudeta dan warga sipil dengan kekerasan.
Rusia dan China memang salah satu sekutu utama Myanmar. Myanmar juga membeli sejumlah alat utama sistem persenjataan dari Rusia.
Bentrokan antara militer dan gerilyawan warga sipil hingga milisi di perbatasan juga masih terjadi hingga menewaskan puluhan orang.
Berdasarkan data kelompok aktivis Myanmar, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), korban tewas akibat bentrokan antara aparat keamanan dan penentang kudeta mencapai lebih dari 883 orang per akhir Juli lalu. Sementara itu, sekitar 5.200 ribu orang ditangkap.
Selain itu, sampai saat ini ASEAN juga belum membentuk utusan khusus organisasi untuk Myanmar. Beberapa sumber diplomat negara Asia Tenggara mengatakan hal teknis seperti anggaran dan tugas utama utusan khusus itu masih diperdebatkan.
(rds/ayp)