Sejak digulingkan pada 2001, Taliban terus melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Afghanistan yang didukung Amerika Serikat.
Di tengah perundingan perdamaian dengan Afghanistan yang mandek membuat kelompok milisi itu semakin gencar beraksi untuk berupaya merebut kekuasaan.
Melansir Council Foreign Relation, cita-cita Taliban sebenarnya ingin Afghanistan menjadi negara Islam seperti era 1996 sampai 2001. Pemerintahannya dipimpin oleh seorang pemimpin yang mendapat legitimasi dari para ulama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Afghanistan saat ini berbentuk republik yang dipimpin seorang presiden dan memperoleh legitimasi dari hak pilih universal yang sesuai dengan hukum dan norma internasional.
Frekuensi serangan yang dilakukan Taliban semakin tinggi usai Amerika Serikat dan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menarik pasukannya dari negara tersebut, sesuai kesepakatan damai di antara mereka. Penarikan itu sekaligus menjadi simbol kemenangan kelompok itu.
"Bagi Taliban, perdamaian tidak berarti mengakhiri pertempuran, tapi berarti mengakhiri pendudukan AS," ujar editor platform Long War Journal yang meliput perang AS-Al Qaeda, Bill Roggio.
"Setelah Amerika Serikat pergi, Taliban akan bekerja untuk menyelesaikan masalahnya dan membangun kembali emirat Islam."
Menurut The Guardian, penarikan pasukan AS sudah lebih dari 90 persen. Kemungkinan penarikan itu akan rampung pada Agustus mendatang.
AS selama ini memiliki peran utama dalam hal politik, ekonomi, dan keamanan di Afghanistan sejak 2001. Kebangkitan Taliban dapat mengubah negara itu menjadi sarang perlindungan teroris, menurut laporan ABC.
Selain itu, ketidakstabilan internal di Afghanistan memiliki konsekuensi regional yang lebih besar karena Pakistan, India, Iran, dan Rusia semuanya berlomba untuk mendapatkan pengaruh di Kabul.