Jakarta, CNN Indonesia --
Amat sulit mengharapkan secercah harapan bagi masa depan para perempuan Afghanistan di bawah rezim Taliban.
Belum genap satu bulan Taliban memimpin Afghanistan sebagai pemerintahan sementara, sejumlah pengekangan terhadap perempuan diterapkan. Pengamat mengatakan nasib mereka takkan jauh berbeda dengan masa 1996-2001.
Saat Taliban memimpin di tahun tersebut, terjadi banyak pengekangan mulai dari dilarang sekolah, wajib mengenakan burkak dan niqab hingga dilarang bekerja. Banyak pihak yang menilai mereka ultra konservatif dan otoriter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mantan Staf perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Kabul, Dhyana Paramitha, tak melihat indikasi perubahan di Afghanistan, termasuk perlakuan terhadap perempuan.
"Sejauh ini saya masih bilang belum berubah dari tahun 1996. Ini sudah sebulan, itu sepertinya belum ada tanda-tanda ke arah sana (perubahan) tentang perlakuan perempuan di sana," kata Dhyana saat dihubungi CNNindonesia.com, Jumat (17/9).
Dhyana lalu menceritakan ia mendapat kabar sudah ada perempuan Afghanistan yang dicambuk. Ia juga menyoroti kewajiban niqab yang turut membatasi kebebasan perempuan.
Tak lama setelah berhasil menduduki istana kepresidenan, Taliban mengaku ingin membentuk pemerintahan yang inklusif dan terbuka.
Namun, sejauh ini mereka menerapkan sejumlah aturan yang membatasi ruang gerak perempuan. Kekangan-kekangan itu antara lain pemisahan murid laki-laki dan perempuan saat kegiatan belajar mengajar di kelas, bepergian harus dengan wakil laki-laki, kewajiban mengenakan hijab, perempuan dilarang olahraga, dan menyebut perempuan tak perlu menjadi menteri.
Meski Taliban mengizinkan universitas dibuka, Dhyana, menyangsikan sikap mereka.
"Siapa yang ngajar, bagaimana kurikulumnya, sementara mereka membatasi kurikulum sesuai syariat Islam," terangnya.
Ia tidak percaya Taliban betul-betul akan membuka kampus, karena bagi mereka ilmu tak penting, dan ujung-ujungnya perempuan kembali mengalami domestifikasi.
Apa faktor yang menguntungkan kebijakan misogini Taliban? Baca di halaman berikutnya...
Sedikit berbeda dengan pendapat salah satu pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman. Ia mengatakan bahwa nasib perempuan Afghanistan bergantung pada dinamika politik pemerintahan.
Ekonomi di Afghanistan memburuk usai Taliban berkuasa lagi. Dina menilai mau tak mau mereka membutuhkan bantuan internasional.
Jika pihak internasional dengan mudah memberikan bantuan kepada Taliban, kata Dini, mereka justru akan memperketat aturan terhadap perempuan.
Namun, jika komunitas internasional memantau dan terus menekan Taliban, pelan-pelan mereka akan melonggarkan aturan tersebut.
"Jadi masa depan perempuan Afghanistan sangat terpengaruh dari dinamika pemerintahan. Kalau komunitas internasional tidak peduli hak asasi manusia, nasib perempuan, mungkin mereka akan melakukan kebijakan yang ekstrem lagi seperti yang dahulu," paparnya.
Dina mengatakan Taliban tidak akan melakukan perubahan secara signifikan, namun bisa jadi mereka bersikap ke tengah. Tak terlalu konservatif, tak juga moderat.
"Ada kemungkinan Taliban berubah karena tekanan internasional, tapi perubahan yang sangat besar itu tidak mungkin karena banyak warga Afghanistan masih sangat konservatif," lanjutnya.
 Foto: REUTERS/STRINGER Perempuan Afghanistan bebas bekerja, sekolah, hingga bermain musik sebelum rezim Taliban kembali menguasai negara Asia Selatan tersebut. |
Budaya Konservatif di Pedesaan
Menurut pengamatan Dina, tak semua masyarakat Afghanistan menolak aturan syariat Islam. Terutama mereka yang tinggal di pedesaan.
Sementara berdasarkan data, sebanyak 80 persen perempuan Afghanistan tinggal di pedesaan sehingga mereka tak mendapat akses pendidikan yang melimpah, literasi, dan keterbukaan atau kebebasan sebagaimana masyarakat di Kabul
Budaya di Afghanistan yang disebut masih konservatif, bisa jadi justru menguntungkan Taliban dengan kebijakannya yang misogini. Karena laki-laki di negara tersebut gerilyawan Taliban atau bukan punya kecenderungan pandangan konservatif terhadap perempuan.
Dina khawatir kelompok itu akan melegalkan pandangan konservatifnya dalam undang-undang.
"Saya khawatir Taliban akan meresmikan sebagai bagian dari undang-undang yang disebut sebagai aturan islam."
Budaya yang menjalar di Afghanistan tentu tak lepas dari perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Saat negara komunis Uni Soviet menduduki Afghanistan. Mereka menerapkan sosialisme, sehingga memberi kebebasan terhadap warganya. Bahkan mereka dipaksa untuk mengenyam bangku pendidikan.
Sementara budaya masyarakat saat itu, kata Dina, perempuan harus di rumah saja.
"Jadi waktu itu yang terjadi adalah pemaksaan budaya baru, makanya Mujahidin melawan karena dianggap melanggar budaya dan aturan Islam," katanya.
Sementara itu, Amerika Serikat pernah kewalahan menghadapi serangan bom 9/11 yang dilancarkan oleh Al-Qaeda.
Al-Qaeda pernah diterima Taliban di Afghanistan. Demi melancarkan egonya memerangi terorisme, AS menduduki Afghanistan. Mereka kemudian bekerja sama dengan aliansi utara yang pernah mengusir Uni Soviet. Negeri Paman Sam berhasil.
Kemudian di masa pendudukan AS, selama dua dekade, seharusnya kondisi di Afghanistan membaik, kata Dina.
"Tapi ternyata tidak. Ternyata 2/3 warga Afghanistan tak bisa sekolah," lanjutnya.
Artinya, sambung Dina lagi, faktor budaya berperan penting. Sebab, orang-orang yang tinggal di pedesaan tak ingin sekolah. Jikapun sekolah, juga memilih sekolah yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Persis aturan Taliban hari ini.
"Apa yang terjadi pada perempuan di Afghanistan itu saling berkelindan dengan tradisi mereka, budaya mereka dengan penafsiran agama yang sempit atau ekstrim," katanya.
Solusi dari masalah tersebut yakni referendum, kata Dina. Taliban seharusnya membuat Undang-undang terlebih dahulu untuk mengetahui keinginan masyarakat Afghanistan mengenai perbedaan pandangan.
Sayangnya Taliban terlebih dahulu mendeklarasikan untuk menerapkan syariat Islam dan bukan demokrasi.
Langkah itu pun disebut menyulitkan pihak asing untuk menilai kondisi di Afghanistan.
[Gambas:Photo CNN]