Mansfield mengakui bahwa opium memang merupakan salah satu sumber pemasukan penting bagi Taliban. Namun berdasarkan risetnya, pajak dari opium sebenarnya jauh lebih rendah ketimbang tarif yang ditarik Taliban untuk barang-barang lain.
Ia kemudian membahas salah satu riset di Provinsi Nimruz menunjukkan bahwa Taliban mengeruk sekitar US$5,1 juta dari industri narkoba, jauh lebih kecil ketimbang pendapatan dari pajak untuk bahan bakar dan transit barang yang mencapai US$40,9 juta.
Meski demikian, Taliban tak dapat meremehkan kekuatan industri narkoba untuk kepentingan politik mereka. Jika salah langkah, popularitas mereka di tengah masyarakat bisa merosot.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara turun-temurun, para petani Afghanistan sejak lama sudah menanam opium dan ganja, dua tanaman yang menyelamatkan mereka dari perang berkepanjangan.
Layaknya negara lainnya yang dilingkupi gunung, iklim Afghanistan memang bagus untuk pertumbuhan opium. Menurut profesor ahli konflik dan pembangunan di SOAS University of London, Jonathan Goodhand, opium juga digunakan sebagai obat dan keperluan kultural.
Komoditas opium mulai menjadi bisnis besar sekitar medio 1980-an, ketika kucuran uang internasional di tengah perang antara Uni Soviet dan Amerika Serikat terus mengalir.
Goodhand mengatakan bahwa di masa inilah para komandan mulai mengembangkan modal untuk membangun jaringan produksi, pemrosesan, hingga penyelundupan opium.
Ketika Uni Soviet hengkang dan Taliban muncul serta akhirnya merebut kekuasaan pada 1996, opium menjadi "komoditas legal defacto" di Afghanistan.
Namun, Taliban mulai putar haluan pada 2000 dengan melarang produksi opium karena dianggap tidak Islami. Sejak saat itu, produksi opoium merosot 90 persen.
Goodhand dan sejumlah pakar lainnya saat itu berhipotesis bahwa Taliban mengambil langkah itu sebenarnya untuk menarik perhatian internasional. Namun ternyata, keputusan itu malah menjadi bumerang untuk mereka.
Afghanistan masuk ke dalam krisis pengangguran. Para petani opium yang awalnya mendukung Taliban, akhirnya membangkang karena terlilit utang.
Larangan produksi opium itu kemudian dicabut pada 2001, bersamaan dengan kejatuhan kepemimpinan Taliban. Sejak saat itu, produksi opium meroket dan mencapai puncaknya pada 2017 dengan produksi sekitar 9.900 ton.
Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) memperkirakan bahwa industri opium ini bernilai sekitar US$1,4 miliar saat itu, yang berarti setara 7 persen dari GDP Afghanistan.
Para pakar pun ragu Taliban bakal mengambil langkah drastis untuk melarang penanaman opium seperti ketika mereka pertama kali berkuasa.
Selain itu, Felbab-Brown juga melihat faktor lain, yaitu potensi popularitas opioid sintetis, seperti fentanyl, yang menjadi komoditas besar di China dan India.
Jika Afghanistan tak lagi mengekspor opium, produk-produk China dan India itu akan merajai pasar Eropa, Afrika, dan Kanada. Opium Afghanistan pun terancam tak mendapatkan tempat lagi di pasaran.
Tak hanya itu, pelarangan opium juga dapat memicu potensi kekerasan. Felbab-Brown mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 100-500 ribu mantan personel militer Afghanistan yang tak lagi bekerja. Ladang opium disebut-sebut dapat menjadi sumber pendapatan bagi keluarga mereka.
"Kalian mengambil itu semua, maka akan ada 150 ribu orang yang menjadi musuh kalian yang tak punya makanan," tutur Felbab-Brown.
(has/bac)