Selain itu, Haugen mengungkapkan serangkaian aktivitas di Facebook berkaitan dengan peristiwa pembantaian di Myanmar dan Ethiopia.
"Ketakutan saya adalah jika kita diam saja, aktivitas memecah belah dan ekstremis yang kita lihat hari ini hanyalah permulaan. Apa yang kita lihat di Myanmar dan Ethiopia adalah pembukaan dari babak cerita yang mengerikan, yang tidak ada seorangpun yang mau melihat akhirnya," ucap Haugen saat menceritakan pertumpahan darah di kedua negara tersebut.
Lihat Juga :![]() Kilas Internasional Curhat Penjual Opium Afghanistan hingga RI-Jiran soal China |
Mengutip dari CBSnews, algoritma Facebook saat ini cenderung memecah belah masyarakat dan menyebabkan kekerasan etnis di seluruh dunia, termasuk kasus Myanmar pada 2018 ketika militer Myanmar menggunakan Facebook untuk melakukan pembantaian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, algoritma konten berbasis interaksi pada Facebook mengarahkan penggunanya untuk bereaksi dengan melakukan like, bagikan, atau komen yang memberi andil dalam mengobarkan kekerasan etnis di negara seperti Ethiopia yang terpecah oleh kesenjangan regional dan perbedaan etnis.
Sebelumnya Haugen mengungkap sejumlah fakta tentang Facebook dalam acara "60 Minutes" Minggu (3/10) malam. Fakta itu ia beberkan setelah merilis 10 ribu halaman dokumen yang membuat raksasa teknologi Facebook dihujani serangan selama beberapa pekan belakangan.
Pada kesaksiannya Haugen berulang kali menyebut beberapa negara sebagai contoh dari bahaya penggunaan media sosial Facebook.
Dilansir dari CNN, pada 2018 Facebook mengakui mereka gagal dalam mencegah penyebaran posting yang mengobarkan kebencian terhadap etnis minoritas Rohingya di Myanmar, sehingga mengakibatkan etnis tersebut teraniaya.
(lnn/bac)