Media Amerika Serikat The Washington Post merilis hasil investigasi mengenai dugaan kekerasan oleh Staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI_ terhadap Sri Yatun yang pernah bekerja sebagai ART di rumah dinas salah satu staf KJRI Los Angeles, Cicilia Rusdiharini, pada 2004-2007.
Dalam hasil wawancara yang dirilis pada 6 Oktober lalu itu, Sri bercerita bahwa ia sudah bekerja untuk Cicilia sejak masih di Indonesia pada 2004. Di masa awal ia bekerja, Sri sebenarnya sudah mengendus gelagat aneh.
Cicilia mengatakan bahwa Sri harus bekerja tanpa gaji pada empat bulan pertama hingga mereka pindah ke AS. Menurut Cicilia, gaji Sri digunakan untuk membayar biaya tiket pesawat dan pengajuan visanya ke AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Sri menahan diri karena kontrak kerjanya di AS cukup menggiurkan. Berdasarkan kontrak, Sri bakal dibayar US$400 tiap minggu dengan jam kerja 40 jam per pekan. Sri juga dijanjikan uang lembur US$13 per jam jika bekerja di luar jam yang disepakati.
Namun, setibanya di AS, Sri harus bekerja setiap hari, siang dan malam, tanpa hari libur. Sri juga sempat hanya dibayar US$50 hingga US$100 per bulan.
Akibat bekerja terus menerus, hingga saat ini Sri masih kerap merasakan sakit di bagian punggung dan lututnya. Sementara itu, Sri juga masih harus bertahan di tengah kekerasan verbal Cicilia.
Sri bercerita bahwa suami Cicilia, Tigor Situmorang, merupakan pria yang meledak-ledak dan kerap melecehkan dia secara verbal. Menurut Sri, Tigor bahkan pernah memukul kepalanya.
Di tengah tekanan ini, Sri sempat beberapa kali ingin kabur. Namun Cicilia dan Tigor mengancam bakal memenjarakan Siti jika ia berani keluar rumah tanpa izin mereka.
Cicilia mengatakan bahwa di AS banyak penembakan massal dan anggota geng yang kerap menyekap perempuan dan menjualnya untuk menjadi budak seks. Selain itu, Sri juga tak fasih berbahasa Inggris dan tidak punya uang, sehingga ia harus selalu bersama majikannya.
Satu hari, Sri menemukan paspornya disembunyikan di salah satu laci lemari. Sri sebenarnya sudah berulang kali menanyakan keberadaan paspornya selama tiga tahun belakangan.
Sri hanya khawatir jika izin tinggalnya sudah habis, ia bakal dideportasi atau bahkan tak boleh lagi kembali ke AS. Namun, Cicilia selalu meyakinkan Sri bahwa proses perpanjangan visanya sedang dalam proses.
Jantungnya berdebar kencang ketika menemukan paspor itu dan ternyata visanya sudah kedaluwarsa. Belum ada visa baru lagi. Sri akhirnya mengambil paspor itu, kemudian menaruhnya di tas plastik yang ia pakai di balik baju.
Siti sendiri masuk ke AS pada 26 Mei 2004 menggunakan visa A-3. Izin itu dikeluarkan pemerintah AS khusus untuk orang yang bekerja untuk pejabat diplomatik.
Berdasarkan visa itu, izin tinggal para pekerja tersebut di AS berada di bawah kendali majikan. Sementara itu, diplomat memiliki imunitas dari hukum AS. Pada akhirnya, para pemegang visa ini sangat rentan terhadap tindak kekerasan oleh majikan.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia merespons klaim laporan dari Washington Post tersebut. Juru bicara Kemenlu, Reuku Faizasyah mengatakan akan mendalami dan menindaklanjuti informasi mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan staf Konsulat Jenderal RI di Los Angeles, Amerika Serikat, terhadap asisten rumah tangganya pada 2004-2007 silam.
"Kementerian Luar Negeri akan mendalami dan menindaklanjuti informasi tersebut sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku," ujar juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, kepada CNNIndonesia.com, Senin (11/10).
(isa/has/bac)