Sebelumnya, India sempat dikabarkan menolak menerapkan target emisi nol karbon. Alasannya, negara itu menilai krisis iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh emisi karbon negara maju di masa lalu.
Sekretaris Lingkungan India RP Gupta menilai negaranya adalah korban dari krisis iklim, bukan penyumbang emisi. Ia juga mengatakan karbon nol bersih bukanlah cara yang sesuai untuk menangani masalah iklim.
"Ini berkaitan dengan banyaknya karbon yang Anda keluarkan di atmosfer sebelum mencapai karbon nol bersih, itu yang lebih penting," tambah Gupta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Menteri Lingkungan Hidup India Bhupendra Yadav mengatakan bahwa negaranya tak akan menambah target pengurangan emisi karbon. Pasalnya, India menilai negara maju tidak memenuhi target pengurangan emisi karbon mereka.
Lihat Juga : |
"Kami merasa tanggung jawab historis harus dilaksanakan secara serius. Karena India hampir mencapai NDC (Nationally Determined Contribution)-nya tepat waktu," tambahnya, merujuk pada pandangan India yang menilai negara maju harus lebih bertanggung jawab atas emisi karbon global.
Leonard menekankan, tugas Indonesia dalam presidensi G20 ini ialah harus mengelola dinamika di dalam kelompok yang memiliki pandangan berbeda terkait masalah iklim tadi.
Indonesia berhadapan dengan negara dengan komitmen iklim yang ambisius. Namun, RI juga harus mendorong negara yang komitmen iklimnya kurang agar mau mengikuti kesepakatan menjaga kenaikan suhu Bumi tak lebih dari 1,5 derajat.
Walaupun demikian, Indonesia juga perlu mendesak negara maju memenuhi target bantuan yang mereka janjikan pada negara berkembang.
"Secara resmi, Indonesia menyatakan (target pengurangan emisi karbon) 29 persen harus usaha sendiri, 41 persen kalau dibantu internasional. Dimensi itu sebenarnya valid. Kan dunia juga berusaha, komitmen USD100 miliar per tahun itu belum terpenuhi. Memang belum terpenuhi sampai sekarang dan itu harus (terpenuhi) oleh negara-negara Utara," kata Leonard.
Sebelumnya, negara-negara kaya di dunia berjanji untuk memberikan US$100 Miliar (Rp1.432 triliun, kurs Rp14.328 untuk satu dollar) kepada negara berkembang untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Namun, janji ini masih belum terpenuhi.
"Uang 100 miliar dolar sangat penting untuk mengkatalisasi aliran keuangan yang jauh lebih besar," kata Direktur Eksekutif Dana Iklim Hijau (GCF) Yannick Glemarec.
Maka dari itu, RI perlu menyadari perannya dalam presidensi G20 ini untuk mengatasi masalah iklim. Indonesia perlu mendesak semua pihak untuk bekerja sama di tengah perbedaan pandangan yang terjadi.
Pemerintah Indonesia juga harus sadar, presidensi G20 ini membuat semua mata tertuju kepadanya.
(bac)