Jakarta, CNN Indonesia --
Di tengah himpitan sanksi internasional dan pandemi Covid-19, warga Korea Utara yang sebagian besar berada dalam kemiskinan kian terpuruk dengan wabah kelaparan yang memburuk.
Sejak April lalu, Korut dilaporkan dilanda krisis pangan akut hingga stok pangan darurat pun dikabarkan habis.
Pemimpin Tertinggi Kim Jong-un pun mengakui krisis yang tengah melanda warganya itu dalam sebuah rapat dengan Komite Pusat Partai Buruh pada Juni lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Situasi pangan rakyat semakin sulit karena sektor agrikultur gagal memenuhi rencana produksi gandum, dampak kerusakan akibat topan tahun lalu," ujar Kim dalam rapat tersebut seperti dikutip kantor media pemerintah Korut, KCNA, Selasa (15/6).
Kim pun berjanji akan mengerahkan segala upaya di bidang pertanian tahun ini. Ia juga akan membicarakan berbagai cara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor pangan.
Pun, dia memerintahkan jajaran pemerintahannya untuk mempelajari langkah-langkah antisipasi guna meminimalkan dampak bencana, berkaca dari yang sudah terjadi.
Mengutip News Week, krisis pangan itu diduga salah satunya terjadi karena impor bahan makan dari China turun hingga 90 persen.
Seperti dikutip dari CNN, di Pyongyang, harga beberapa barang pokok dilaporkan meroket. Para ahli mengatakan harga beras dan bahan bakar relatif stabil tetapi bahan pokok impor seperti gula, minyak kedelai dan harga tepung merangkak naik.
Bahan pokok yang diproduksi secara lokal juga melonjak dalam beberapa bulan terakhir. Penduduk Korut mengatakan harga kentang naik tiga kali lipat di pasar Tongil.
Pada Juni lalu, harga kebutuhan pokok juga melonjak imbas krisis pangan yang terjadi di Korea Utara.
Para ahli menuturkan harga beras dan bahan bakar relatif stabil, namun bahan pokok impor seperti gula, minyak kedelai dan harga tepung meroket.
Bahan pokok produksi lokal juga melambung dalam beberapa bulan terakhir. Harga kentang bahkan sempat naik tiga kali lipat di Pasar Tongil.
Harga barang bukan pokok seperti teh hitam dan kopi juga meroket. Tiap bungkus teh dibanderol US$70 atau setara Rp1 juta, sementara kopi dihargai US$100 atau Rp sekitar Rp1,4 juta.
Krisis pangan yang melanda Korut diduga terjadi lantaran impor bahan pangan dari China turun hingga 90 persen.
Selain itu, pandemi Covid-19 dan bencana topan juga memicu krisis pangan di Pyongyang.
"Situasi pangan rakyat semakin sulit karena sektor agrikultur gagal memenuhi rencana produksi gandum, dampak kerusakan akibat topan tahun lalu," ujar Kim dalam rapat dengan komite pusat Partai Buruh, seperti dikutip kantor media pemerintah Korut, KCNA pada Juni lalu.
Di bulan yang sama, Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan, tahun ini Korea Utara kekurangan sekitar 860 ribu ton makanan, atau setara lebih dari dua bulan pasokan nasional.
Krisis pangan Korut terjadi sejak kakek Kim Jong-un dapat dibaca di halaman berikutnya >>>
Era Kim Il-sung dan Kim Jong-il
Krisis pangan yang memicu wabah kelaparan di Korut bukan kali pertama terjadi. Krisis pangan pertama kali bahkan pada 1948 ketika Republik Rakyat Demokratis Korea (DPRK)--nama resmi Korut--berdiri, seperti dikutip Historia.
Saat itu, Korut dipimpin Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un yang menerapkan kebijakan nasional "Juche" atau berdiri di kaki sendiri. Kim Il-sung saat itu teramat yakin bahwa Korut mampu memproduksi bahan pangan untuk masyarakatnya sendiri.
Bahkan, saat banjir besar melanda sekitar 1984, pemerintah Korut masih sempat mengirim 7.000 ton bantuan bahan pangan ke Korea Selatan.
Namun, ternyata kondisi iklim dan tanah Korut saat itu tidak cocok untuk bercocok tanam. Korut pun kemudian mengandalkan bantuan makanan dan bahan bakar yang murah dari Uni Soviet.
Namun, bantuan dari Uni Soviet itu tak disebarkan secara merata. Akibat masih dalam kondisi pasca-perang Korea, pemerintah Korut hanya membagi bantuan pangan itu berdasarkan prioritas.
Saat itu, Korut memprioritaskan kalangan militer sehingga memperoleh lebih banyak bantuan pangan ketimbang warga sipil.
Sementara itu, di medio 1990 hingga awal 2000-an, negara tetangga Korea Selatan ini juga mengalami wabah kelaparan dan krisis pangan.
 Foto: Ed JONES / AFP Masyarakat Korut memberi penghormatan kepada patung mendiang Kim Il-sung dan Kim Jong-il yang hingga kini masih diagung-agungkan warga. (Photo by Ed JONES / AFP) |
Saat itu, wabah kelaparan akut terjadi karena berbagai faktor. Salah urus ekonomi dan keruntuhan Uni Soviet menyebabkan produksi dan impor pangan menurun dengan cepat. Bencana banjir dan kekeringan pun turut memperburuk krisis.
Pemerintah Korut yang saat itu dipimpin Kim Jong-il, ayah Kim Jong-un, menerapkan sistem pemerintahan terpusat yang pada akhirnya terbukti tidak fleksibel dan efektif menangani bencana.
Perkiraan jumlah korban akibat krisis kelaparan akut sangat bervariasi. Dari total populasi Korut saat itu yang dikabarkan berjumlah sekitar 22 juta orang, korban tewas akibat wabah kelaparan mencapai sekitar 240.000 hingga 3,5 juta orang. Angka kematian tertinggi akibat kelaparan dan hal terkait lainnya memuncak pada 1997.
Pada 1995-1996 krisis pangan Korut diperparah akibat banjir bandang di sebagian daerah. Dampak bencana itu, 330 ribu hektar lahan pertanian hancur dan 1,9 juta ton beras atau bahan pangan tak layak dikonsumsi.
Pemerintah Korut pun mengalami kerugian yang ditaksir mencapai US$15 juta dengan kurs di tahun yang sama.
Menanggapi krisis saat itu, Amerika Serikat yang notabene musuh utama Korut, turut memberikan bantuan internasional.
Namun, situasi semakin buruk karena kebijakan yang diambil pemerintah Korut tak merata.
Public Distribution System (PDS), lembaga yang mengatur pangan masyarakat, hanya mampu memenuhi kebutuhan 6 persen untuk penduduk. Sehingga ada 3,5 juta warga mengalami kelaparan dan malnutrisi saat itu.
Saat itu pula pemerintah Korut menerapkan sistem kelas yang disebut songun, yakni suatu sistem politik Korut yang menempatkan militer sebagai prioritas.
Namun, kini, Kim Jong-un, disebut mulai mengesampingkan kebijakan songun. Meski demikian, belum terkonfirmasi sepenuhnya rencana pencabutan kebijakan yang pernah diterapkan sang ayahnya itu.
Sejumlah pihak menuturkan distribusi pangan yang terpengaruh sistem songun menjadi penyebab kelaparan semakin meluas di kalangan sipil saat ini.
Padahal, berbagai pihak internasional sudah mengulurkan tangan. Terhitung, dalam setahun bisa lima kali bantuan disalurkan.
Sayangnya, banyak warga yang tak menerima bantuan itu. Dari 90 persen bantuan yang ada, 80 persen masuk ke pemerintah dan 10 persen ke kantong militer.
[Gambas:Photo CNN]