Cerita Oki soal krisis pekerja kasar di Inggris pascaBrexit dibenarkan WNI lain di negara itu, Muhammad Fahmi Ardi.
Fahmi yang berprofesi sebagai konsultan arsitektur lanskap di London mengatakan, kira-kira separuh lebih pekerja kasar di Inggris berasal dari negara-negara Uni Eropa, termasuk dari Eropa Timur.
Ia kemudian menduga ada semacam keengganan bagi sebagian besar warga Inggris untuk bekerja sebagai pekerja kasar seperti sopir truk, petugas kebersihan, pekerja gudang, hingga pelayan restoran. Ketersediaan lowongan ini pun kemudian lambat laun banyak diisi imigran-imigran dari Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasca-Brexit, Inggris mulai merasakan kekurangan para pekerja sektor esensial tersebut, terutama dari negara-negara Eropa.
"Mereka (pekerja Eropa dari luar Inggris) biasanya tak perlu visa kerja untuk bekerja. Sekarang mereka harus ada visa kerja (setelah Brexit)," ujar Fahmi.
"Biayanya tentu tidak murah untuk urus visa kerja. Gaji mereka pun juga tidak mencukupi jika ditambah harus urus visa kerja karena memang mereka pekerja low income," ia menambahkan.
Fahmi menilai kebutuhan dan gaya hidup yang tinggi membuat sebagian warga Inggris pilih-pilih untuk mencari pekerjaan dengan gaji sesuai harapan mereka.
"Jadi sebenarnya inflasi di Inggris pun salah satu faktornya karena persoalan supply chain (rantai suplai). Itu karena pekerjanya banyak yang hengkang dari Inggris."
"Contohnya di sini pernah terjadi kekurangan stok keripik kentang, termasuk suplai BBM (Bahan Bakar Minyak). Penyebabnya karena supply chain yang sempat tersendat," tutur Fahmi.
(pwn/bac)