Jakarta, CNN Indonesia --
Karl Lauterbach, seorang epidemiolog kini menjadi Menteri Kesehatan Jerman di bawah kanselir baru, Olaf Scholz. Ia bakal memikul beban berat penanganan Covid-19 di tengah kasus positif yang melonjak di Jerman.
Sebelum menjadi Menteri, lulusan Universitas Harvard ini kerap mendesak implementasi baru untuk menangani penyebaran virus Covid-19.
Lauterbach pernah mendesak pemerintah Jerman untuk mulai memberikan vaksin booster pada musim panas lalu. Ia merujuk pada Israel yang pada Juli menjadi negara pertama memulai kampanye vaksin booster.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada April, Lauterbach pernah merujuk penelitian yang menemukan efektivitas vaksin satu dosis untuk mengurangi perawatan rumah sakit.
Kala itu, vaksin langka ditemukan dan ia mendesak pemerintah untuk memberikan jangka waktu 12 minggu dalam pemberian vaksin pertama dan kedua. Kebijakan ini diusulkan agar lebih banyak orang menerima vaksin pertama mereka.
Lauterbach kemudian menjadi suara yang vokal dalam masyarakat Jerman yang frustrasi dengan ulah elite politik negara itu. Ia memiliki lebih dari 700 ribu pengikut di Twitternya.
Dalam pidato pertamanya sebagai Menteri Kesehatan Jerman pada Rabu (8/12), Lauterbach mengatakan bahwa penanganan pandemi Covid-19 akan dipandu dengan bukti ilmiah, bukan pertimbangan politik.
"Kebijakan kesehatan hanya dapat berhasil jika didasarkan pada bukti ilmiah. Tujuan utama kami adalah mengakhiri pandemi ini. Kami akan memberikan suntikan booster secepat mungkin," kata Lauterbach.
Pejabat Kesehatan Jerman menyambut baik penunjukkan Lauterbach sembari menyatakan fokus utama Menkes baru itu ialah memecahkan masalah penolakan vaksin. Hanya 69,2 persen masyarakat Jerman yang telah mendapatkan vaksin lengkap, dibandingkan Portugal yang mencapai 87,3 persen, dikutip dari Reuters.
"Tantangan utama yang dia (Lauterbach) hadapi ialah meyakinkan orang yang belum divaksinasi untuk mendapatkan vaksin. Dia harus memotivasi mereka dengan kampanye positif dan pesan yang mudah dimengerti:'Jika Anda divaksin, Anda membawa dampak baik bagi diri Anda dan orang sekitar Anda," kata Dirk Heinrich, Ketua Asosiasi Dokter Virchowbund Jerman.
Jerman sendiri menghadapi penolakan vaksin dari beberapa kelompok warga negara itu. Hoaks yang beredar menjadi salah satu alasan mengapa ada beberapa masyarakat yang menolak divaksin.
Machally, salah satu WNI yang kini tinggal di Jerman, sempat menyinggung beberapa hoaks yang beredar di Jerman terkait vaksin.
"Misal, bahwa vaksin bisa menyebabkan keturunan kena keterbelakangan mental. Beberapa orang bahkan tak percaya corona ada sama sekali. Mungkin itu sedikit yang pernah saya dengar dari orang yang tidak divaksin. Yang lain ada yang percaya ada microchip dalam vaksin," kata Machally kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/11).
Desas desus hoaks vaksin di Jerman juga dibenarkan oleh WNI lain, Mira. Mira mengatakan bahwa teori konspirasi terkait vaksin banyak beredar di negara itu.
"Misalnya, vaksin ini adalah konspirasi orang-orang tertentu seperti Bill Gates, yang vaksinasi chip untuk mengontrol manusia, itu juga ada. Atau juga ada hoaks lain yang beredar seperti bahwa vaksin itu tidak manjur, atau efek sampingnya bisa menyebabkan kanker," cerita Mira ketika diwawancara CNNIndonesia.com, Kamis (25/11).