Rumor rencana invasi ini muncul sembilan tahun setelah upaya terakhir Kesultanan Sulu untuk "mengambil kembali" wilayah Kalimantan Utara yang disebut pernah menjadi bagian dari teritorialnya.
"Kegagalan ahli waris Kesultanan Sulu untuk mendapatkan persetujuan dari pemerintah Malaysia untuk menyelesaikan hak kepemilikan atas Sabah mendorong pelaksanaan rencana ini," papar sumber itu.
Pada Februari 2013 lalu, lebih dari 200 pasukan militan Sulu bersenjata lengkap menyerbu Lahad Datu, kota pantai timur Malaysia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Serbuan itu dilakukan atas perintah orang yang mengklaim diri sebagai Sultan Sulu, Jamalul Kiram III. Pasukan itu dipimpin saudara Jamalul, Agbimuddin.
Konflik yang berlangsung lebih dari sebulan itu menewaskan 68 pasukan dari Kesultanan Sulu, sembilan personel angkatan bersenjata Malaysia, dan enam warga sipil.
Kesultanan Sulu memang pernah menguasai bagian selatan Filipina dan Sabah sebelum pemerintah kolonial Inggris memindahkan Sabah menjadi Federasi Malaysia pada 1963.
Ketua Institut Penelitian Perdamaian, Kekerasan, dan Terorisme Filipina, Rommel Banlaoi juga memprediksi bahwa pasukan Kesultanan Sulu dan Kalimantan Utara masih memiliki 20-30 personel angkatan bersenjata reguler. Menurutnya, mereka mampu memobilisasi hingga 500 gerilyawan bersenjata Tausug sebagai tambahan kekuatan.
Tausug merupakan salah satu etnis dari Sulu yang diyakini masih menyimpan dendam di Sabah.
"Niat itu tidak akan hilang karena semua orang di Sulu telah menyebarkan narasi kepada generasi muda bahwa Sabah adalah milik Kesultanan Sulu," kata Banlaoi.
Profesor studi National War College Asia Tenggara yang berbasis di Washington, Zachary Abuza, memperkirakan bahwa Pasukan Keamanan Kerajaan Sulu memiliki hingga 235 orang selama invasi 2013 ke Lahad Datu. Namun, mereka adalah "orang-orang yang kurang terlatih, bersenjata ringan, dan sangat sesat."
"Jamalul Kiram meninggal pada 2013. Putrinya terus mengklaim Sabah, meskipun tidak jelas apakah dia memiliki pendukung bersenjata atau sumber daya untuk meningkatkan kekuatan," kata Abuza.
Sementara itu, secara politik, Filipina tidak pernah melayangkan niat untuk membatalkan klaimnya atas Sabah. Presiden Filipina saat ini, Rodrigo Duterte, juga pernah bersumpah pada 2016 untuk mengejar klaim negara itu atas Sabah sebagai wilayah Filipina yang berdaulat.
Pada 2019, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jnr menegaskan kembali klaim Filipina atas Sabah selama pengarahan anggaran kongres.
"Kita tidak akan pernah memiliki kedutaan di Sabah. Memikirkan hal itu bahkan merupakan tindakan pengkhianatan," kata Locsin Jnr kepada komite alokasi DPR.
Sementara itu, Malaysia tidak pernah mengakui klaim Filipina tersebut dengan alasan bahwa penduduk Sabah telah menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan mereka memilih untuk bergabung dengan federasi Malaysia pada tahun 1963.
(rds)