Perang Yaman adalah perang sipil berkelanjutan sejak 2014 lalu. Saat itu, pemberontak Houthi berhaluan Muslim Syiah mengambil alih Ibu Kota Sanaa dan kota besar lainnya di Yaman.
Perang yang semula terjadi antara pemerintahan resmi Yaman pimpinan Presiden Mansour Hadi dan pemberontak Houthi, berubah menjadi konflik regional setelah koalisi militer Saudi mengintervensi pada 2015.
Saudi Cs kerap menuding selama ini Iran menyokong pemberontak Houthi. Banyak pihak yang menganggap Perang Yaman pada akhirnya merupakan perang proxy antara Saudi dan Iran yang saling berebut pengaruh di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saudi menuduh Iran selama ini memberikan suplai senjata bagi Houthi, dengan bantuan kelompok milisi Hizbullah dari Libanon untuk melatih para pemberontak.
Dukungan terhadap Houthi bahkan pernah diucapkan sendiri oleh pemimpin tertinggi Iran.
"Saya mendeklarasikan dukungan saya kepada mujahidah yang berjuang di Yaman," ujar Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dalam sebuah pernyataan.
"Saudi dan UEA serta pendukung mereka telah melakukan kejahatan besar di Yaman. Mereka mencoba memecah Yaman. Komplotan ini harus ditentang secara tegas dan Yaman yang bersatu dengan integritas kedaulatan harus didukung," kata Khemenei.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan, sebanyak 377 ribu orang tewas akibat perang Yaman sampai akhir 2021.
Menurut laporan itu, 60 persen kematian terjadi karena dampak tidak langsung akibat peperangan seperti kekurangan air bersih, kelaparan, dan penyakit. Sebagian besar yang meninggal karena dampak tidak langsung ini adalah anak-anak karena rentan kekurangan gizi.
Sementara itu, kematian secara langsung akibat pertempuran membunuh lebih dari 150 ribu orang.
PBB menganggap Perang Yaman merupakan krisis kemanusiaan terparah dalam sejarah.
(pwn/rds)