Terpisah, salah satu staf UNHCR Indonesia mengaku hanya mampu memberikan bantuan dana bagi sekitar 1.100 hingga 1.500 dari total pengungsi yang paling rentan di Indonesia.
"Memang tidak semua pengungsi mendapat bantuan dana finansial dari UNHCR. UNHCR tidak bekerja sendiri. Mungkin banyak pengungsi yang tidak mendapat bantuan dari UNHCR tapi mendapat dari seperti IOM," kata dia.
IOM Indonesia sejauh ini hanya memberi perlindungan dan pelayanan kepada kurang lebih 7.400 pengungsi dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun kelompok rentan yang mendapat bantuan UNHCR yakni anak-anak di bawah 18 tahun yang datang ke Indonesia sendiri, ibu tunggal yang memiliki dua atau tiga anak yang masih kecil, para lansia, orang yang memiliki kebutuhan khusus dan disabilitas.
"Untuk mendapat bantuan dana itu, akan kita lakukan asesmen dulu. Kita lihat dulu apakah ada kerentanan yang mengharuskan mereka (pengungsi) mendapat bantuan dana tersebut. Prosesnya lumayan panjang," kata staf itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (19/1).
Hal ini berkaitan dengan dana operasional UNHCR yang terbatas, dan tak sebesar di negara yang menampung lebih banyak pengungsi seperti Malaysia atau Thailand.
Dana yang mereka terima, klaim staf itu, kebanyakan untuk memproses suaka para pengungsi di Indonesia. Lembaga PBB tersebut memang fokus mencari kesempatan untuk memberdayakan pengungsi ketimbang memberi bantuan finansial.
Selain berusaha memberdayakan pengungsi, UNHCR juga mengaku terus melakukan advokasi terkait kuota pengungsi. Pada 2020, kuota penempatan pengungsi di negara ketiga hanya satu persen, kemudian di tahun berikutnya bertambah meski tak signifikan, yakni 1,5 persen
Selama lima tahun terakhir ada sekitar 3.700 pengungsi untuk ditempatkan ke negara ketiga. Sayangnya, dari jumlah itu hanya 2.700 yang diterima.
Meski Indonesia belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, masalah yang dihadapi para pengungsi merupakan masalah kemanusiaan dan membutuhkan penanganan yang serius dan kerja sama antar negara, demikian menurut Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid.
Ia merujuk pada Pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain untuk menghindari persekusi. Pasal 11 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan standar penghidupan yang layak.
Kemudian Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) menjamin hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan yang dapat dicapai, baik jasmani maupun rohani.
Indonesia telah meratifikasi kovenan itu pada September 2005, sehingga perlu melakukan perhatian medis untuk semua di kondisi sakit.
"Ketidakpastian berkepanjangan yang dialami oleh pengungsi Afghanistan tak bisa dibiarkan terus menerus. Penderitaan yang mereka alami di negara asal berlanjut dengan masalah-masalah yang mereka alami di Indonesia," kata Usman dalam pernyataan tertulis, menanggapi aksi para pengungsi di Jakarta, Rabu (19/1).
Ia lantas mendesak pemerintah Indonesia untuk mendengar keluhan para pengungsi. Usman terus melanjutkan, "Pemerintah juga harus memastikan hak-hak pengungsi untuk penghidupan yang layak terpenuhi, termasuk di antaranya hak atas kesehatan dan pendidikan."
Sementara itu, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Achsanul Habib, mengatakan Kemlu juga terus berupaya melakukan diplomasi ke negara-negara yang menandatangani Konvensi Wina untuk memperbesar kuota penerimaan pengungsi dan meneguhkan komitmen mereka.
"Tentu hal diplomasi terus kita lakukan ketemu Amerika Serikat, ketemu Uni Eropa,saya sendiri. Bu Menlu (Menteri Luar Negeri) dalam berbagai kesempatan selalu menyampaikan tuh agar komitmen selalu ditingkatkan ya," kata Achsanul saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (12/1).
Saat ditanya mengenai respons pemerintah terkait permintaan pengungsi, Achsanul berkata sebetulnya tidak ada kewajiban bagi Indonesia menangani pengungsi, sebab tak meratifikasi kesepakatan 1951 itu.
"Legal basisnya (dasar hukum) enggak ada. Karena penanganan pengungsi itu menjadi legal basis apabila kita terikat oleh Undang-undang dan Hukum Internasional, secara spesifik dalam hal ini kan Konvensi 1951," tutur Achsanul.
Dengan demikian, lanjut Achsanul, tidak ada kewajiban pemerintah Indonesia atas hal tersebut. Sejauh ini yang dilakukan pemerintah atas dasar kemanusiaan.
Para pengungsi datang ke Indonesia dalam situasi yang sulit, selanjutnya pemerintah menerima berdasarkan kemanusiaan.
"Kita pastikan mereka selamat. Kan mereka selamat, hak yang paling mendasar hak hidupnya kita penuhi," ucap dia lagi.
Di Indonesia, meski Hanifah saban hari dihinggapi kecemasan, ia tak bersedia kembali ke Afghanistan.
"Jika ada perdamaian di Afghanistan, kami tidak akan datang ke sini," tutur Hanifah.
(isa/bac)