Dua kota di ujung timur Ukraina, Donetsk dan Luhansk menjadi perhatian dunia ketika menyatakan kemerdekaanya pada 2014 lalu. Dua wilayah itu ingin menjadi negara republik independen.
Ibukota Ukraina, Kyiv pun menegang. Terlebih lagi ketika Presiden Rusia Vladimir Putin terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap kemerdekaan Donetsk-Luhansk.
Lihat Juga : |
Putin juga mengirim pasukan untuk membantu kelompok separatis di dua wilayah itu untuk menghadapi militer pemerintah. Sebagian warga Donetsk dan Luhansk mendeklarasikan Negara Republik Donetsk dan Luhansk melalui sebuah referendum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika ditarik ke belakang, bibit separatisme Donetsk dan Luhansk sedianya sudah ada ketika Uni Soviet runtuh pada 1991 lalu. Perbedaan pandangan politik membuat warga Donetsk dan Luhansk kerap memilih calon presiden yang berbeda dibandingkan daerah lain di Ukraina.
Patung pendiri Uni Soviet Vladimir Lenin setinggi 13,5 meter yang masih berdiri di Lenin Square, pusat kota Donetsk, sekaligus menjadi indikasi bahwa ada kedekatan personal warga setempat dengan Rusia.
Hingga pada 2010, seorang politikus pro-Rusia sekaligus mantan gubernur wilayah Donetsk, Viktor Yanukovych, terpilih menjadi presiden. Namun bukan persatuan, melainkan perseturuan yang muncul ke permukaan.
Rentetan unjuk rasa besar-besaran di Kyiv terjadi pada musim dingin 2013-2014. Tuntutan utama para pendemo adalah Yanukovych lengser dari jabatan karena menolak relasi Ukraina dengan Uni Eropa.
Sebanyak 130 orang tewas selama unjuk rasa. Yanukovych yang tertekan memilih hengkang ke Rusia. Di saat yang berdekatan, Parlemen Ukraina sepakat melengserkan Yanukovych.
Kekosongan jabatan di pemerintahan Ukraina dimanffatkan oleh Putin untuk merebut Krimea, sebuah semenanjung di bagian selatan Ukraina yang menjadi salah satu lokasi strategis pelabuhan.
Sementara, warga Donetsk dan Luhansk mengadakan referendum pemisahan diri pada 11 Mei 2014. Hasilnya, mayoritas warga dua wilayah tersebut ingin berpisah dari Ukraina.
Namun, PBB tidak mengakui referendum itu sebagai bagian dari demokrasi. Alhasil, warga yang sudah menyatakan diri pisah dari Ukraina meresmikan Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Republik Rakyat Luhansk (LPR).