Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, mengamati tindakan Rusia dan menyebutnya sebagai kesalahan strategis. Ia juga mengaku belum melihat bukti pekerjaan yang baik dari intelijen atau integrasi kemampuan udara dengan darat militer Rusia.
Ini memang bukan pertama kalinya Rusia melancarkan operasi militer. Moskow pernah mengerahkan pasukan ke Suriah dan Crimea pada 2014 lalu.
Namun, agresi di Ukraina merupakan pertama kalinya Rusia melancarkan invasi dengan skala penuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Operasi besar semacam itu tentu membutuhkan integrasi dan koordinasi dari pasukan udara dan darat.
Selama ini, Rusia dinilai hanya merotasi latihan militer tahunan di antara distrik militer regional alih-alih melakukan latihan tempur bersama, sebagaimana yang kerap dilakukan tentara AS.
"Mereka tak punya pengalaman dalam hal ini, tidak pada skala seperti (invasi) ini. Sudah beberapa dekade sejak mereka melakukan sesuatu dalam skala ini. Apa yang mereka lakukan di Suriah dan Crimea pada tahun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ini," ujar Hodgges.
Di luar itu, beberapa pejabat menilai Presiden Vladimir Putin hanya membicarakan rencana operasi militer dalam lingkup pejabat Kremlin. Hal itu menyebabkan tak banyak komandan militer yang betul-betul memahami rencana Putin.
"Dalam penilaian kami terlihat jelas beberapa orang di pihak pertahanan (Rusia) tidak benar-benar memahami apa rencana dari pertempuran ini," kata seorang pejabat senior Eropa pada awal Februari, hanya beberapa minggu sebelum invasi
Kurangnya organisasi militer dengan pemerintah pusat juga berimplikasi pada upaya Rusia memasok personel. Moskow diduga berupaya menambah pasukan karena korban terus meningkat.
Tanpa komandan yang kompeten, alokasi strategis dari sumber daya yang terbatas bisa menjadi tantangan besar bagi Rusia, kata Hodges.
"Itu tugas komandan pasukan gabungan: untuk mengalokasikan prioritas. Siapa yang diprioritaskan untuk bahan bakar, amunisi atau kemampuan tertentu," kata dia.