Jakarta, CNN Indonesia --
Penembakan di sebuah sekolah dasar (SD) Texas menjadi contoh lain tragedi yang mematikan di Amerika Serikat.
Aksi penembakan itu dilakukan remaja berusia 18 tahun, Salvador Ramos, di SD Robb kota Uvalde, Texas Selatan, Amerika Serikat pada Selasa (24/5) waktu setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Imbas insiden itu tercatat 19 anak-anak dan dua orang dewasa meninggal.
Tragedi tersebut masuk dalam daftar baru sejarah panjang kekerasan senjata di Amerika Serikat.
Sebelum aksi mematikan di SD itu, tercatat ada 39 penembakan di sekolah K-12, perguruan tinggi, dan kampus pada 2022.
Mengingat kekerasan senjata yang terus meningkat, kenapa Amerika Serikat sulit sekali melarang penggunaan senjata api?
Beberapa pihak menilai karena lobi-lobi yang alot di pusaran kongres Amerika Serikat.
Sebetulnya revisi undang-undang penggunaan senjata sudah berlangsung sejak Barack Obama menjadi presiden AS.
Namun, UU itu terkatung-katung hingga sekarang. Salah satu penyebabnya, orang-orang dari partai Republikan yang belum sepenuhnya setuju.
Profesor pusat riset politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Indonesia, Siswanto, menilai partai Republik masih menimbang-nimbang soal revisi itu.
"Partai Republik ya, enggak setuju. Bukan enggak setuju. Mereka masih 50:50 tapi pada kenyataannya belum direvisi ya [Undang-undang penggunaan senjata]," kata Siswanto saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Rabu (25/5).
Lebih lanjut ia menerangkan, alasan Republikan tidak setuju diduga karena partai ini berisi orang-orang elit dan pengusaha yang berkaitan dengan bisnis senjata.
"Pasti itu ada kepentingan ekonomi di kalangan industri, di kalangan pengusaha dan macam faktor historisnya. Ada kepentingan memang," ujar Siswanto.
Konstitusi berusia dua abad soal senjata api yang amat sulit untuk di amendemen, baca di halaman selanjutnya...
[Gambas:Video CNN]
Aturan soal kepemilikan senjata api di AS sudah ada sejak 1791. Dengan demikian, membeli dan memiliki senjata api ini adalah hal yang legal bagi orang dewasa sejak lama.
Konstitusi soal senjata api itu sudah ada bahkan jauh sebelum pecah perang sipil di AS yang terjadi pada 1861 hingga 1865 antara pemerintah federal AS dengan 11 negara bagian AS di wilayah selatan, termasuk Texas.
Konstitusi itu mengatur bahwa setiap warga AS berhak memiliki senjata, bahkan membentuk milisi untuk membela diri dari serangan pihak federal AS.
Saat ini, konstitusi yang berusia 231 tahun itu masih dipertahankan di AS. Situasinya pun amat problematis dengan kasus penembakan oleh dan terhadap para remaja.
Sejumlah wacana untuk melarang kepemilikan senjata api oleh sipil pun kerap digaungkan, termasuk dari pihak Demokrat.
Lobi dari kalangan Republik di Kongres juga disebut sangat kuat. Dampak dari tindakan ini membuat usulan RUU Pembatasan senjata api masih belum menemukan titik terang.
Dampak lain yakni ketidakamanan masyarakat terhadap ancaman kekerasan senjata api oleh orang yang tak bertanggung jawab.
Meski lobi di kalangan elit untuk RUU menguat, tapi hal itu bisa dilawan dengan semacam opini publik. Sebab, kepemilikan senjata yang ada di masyarakat menimbulkan ketidakamanan warga Amerika itu sendiri.
"Pertama ancamanan keamanan, sudah berkali kali ya [penembakan tak bertanggung jawab]," ujar Siswanto.
Ia juga membeberkan sejumlah faktor yang menjadi pemicu meningkatnya kekerasan senjata di Amerika Serikat.
"Yang membuat kekerasan senjata api di AS menjadi fenomena adalah mungkin juga faktor pelakunya kebanyakan orang-orang stres gitu kan. Orang yang tak punya jiwa stabil gitu lah," tutur dia.
Senada, pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Ubaedillah, juga membeberkan faktor lain kekerasan senjata melonjak di AS.
"AS mengalami masalah-masalah ekonomi, sosial, karena dampak pandemi ini. Tentu ada korelasi ke tindakan penyalahgunaan senjata," kata Ubaedillah.
Ia juga menilai perombakan undang-undang penggunaan senjata sangat mungkin dilakukan usai insiden di SD ini.
Terlebih, Presiden AS, Joe Biden menyerukan pembatasan senjata baru.
"Sebagai bangsa kita harus bertanya, kapan kita akan melobi senjata? Kapan kita akan melakukan apa yang harus dilakukan? Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini," kata Biden dalam pidatonya.