Isi Lengkap Obrolan Putin dan Jokowi: Dari Perang hingga Pangan

CNN Indonesia
Jumat, 01 Jul 2022 20:16 WIB
Presiden Joko Widodo dan Presiden Vladimir Putin membicarakan berbagai isu, mulai dari perang hingga pangan, ketika bertemu di Moskow, Rusia, pada Kamis (30/6).
Presiden Joko Widodo dan Presiden Vladimir Putin membicarakan berbagai isu, mulai dari perang hingga pangan, ketika bertemu di Moskow, Rusia, pada Kamis (30/6). (AP/Alexander Zemlianichenko)

Vladimir Putin:

Pak Presiden, pertanyaan-pertanyaan yang Anda utarakan benar-benar penting. Saya ingin menekankan langsung bahwa kami sama sekali tak melarang ekspor fertiliser.

Di awal tahun ini, kami berencana memprioritaskan fertiliser untuk agrikultur kami sendiri. Namun kini, tingkat produksi fertiliser di Rusia sangat tinggi sehingga kami tak melarang suplai produk ini untuk pasar asing.

Begitu pula dengan pangan. Dunia memproduksi 800 juta ton gandum. Rusia menyuplai lebih dari 40 juta ton gandung untuk pasar asing tahun lalu. Tahun ini, kami akan siap menyuplai sekitar 50 juta ton.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk gandum, Rusia pemasok nomor satu tak terkalahkan untuk pasar dunia.

Masalah ekspor gandum Ukraina diperbincangkan luas belakangan ini. Berdasarkan Kementerian Agrikultur AS, mereka punya 6 juta ton gandum. Menurut informasi kami, hanya ada sekitar 5 juta.

Dibandingkan produksi global yang mencapai 800 juta ton, jumlah itu tentu tak berpengaruh besar terhadap pasar dunia, hanya sekitar 2,5 persen. Jika kita melihat semua pangan yang diproduksi di dunia, hanya 0,5 persen.

Bagaimanapun, ini tetap penting, tapi kami tak menghalangi ekspor gandum Ukraina. Pihak berwenang militer Ukraina sudah menanam ranjau ke arah pelabuhan-pelabuhan mereka.

Tak ada yang menghalangi mereka membersihkan ranjau-ranjau itu sehingga kapal-kapal pembawa gandum bisa berangkat dari pelabuhan-pelabuhan itu. Kami menjamin keamanan mereka.

Selain itu, ada pula jalur-jalur ekspor lain, lewat Rumania, Danube, lalu melewati Laut Hitam, lewat Polandia, lewat Belarus, dan lewat pelabuhan-pelabuhan di Laut Azov.

Saya sudah memberi tahu teman kami di Uni Afrika mengenai ini secara detail. Kami juga menjalin kontak mengenai isu ini dengan badan PBB yang relevan, UNCTAD, yang mengasumsikan tanggung jawab untuk menegosiasikan isu ini dengan perwakilan Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Masalahnya adalah negara-negara itu menjatuhkan sanksi terhadap pelabuhan-pelabuhan laut kami, menciptakan kesulitan asuransi kargo dan pengiriman barang.

Semua ini menciptakan halangan terhadap pasar pangan dan fertiliser. Saya ulangi, bahwa semua masalah ini sedang dibicarakan dengan keterlibatan langsung Sekretaris Jenderal PBB [Antonio] Guterres.

Pejabat-pejabat tinggi pemerintah Rusia dan saya terus menjalin kontak dengan rekan-rekan di PBB.

Saya memahami kekhawatiran Anda, Pak Presiden, dan saya siap menginformasikan kepada Anda lebih detail mengenai upaya kami dalam jalur ini, sehingga kita dapat berkontribusi dalam memasok pasar dunia dengan pangan dan fertiliser.

Joko Widodo:

Pak Presiden, adakah kemungkinan, adakah pendekatan yang tak aman? Kami juga mengatakan di pertemuan G7 bahwa pangan dan fertiliser tak termasuk dalam sanksi.

Vladimir Putin:

Secara formal, itu [pangan dan fertiliser] tak terkena sanksi; itu benar. Namun, pemilik perusahaan-perusahaan kami yang memproduksi fertiliser, dan bahkan anggota keluarga mereka, dimasukkan ke dalam daftar sanksi.

Ini membuat sulit penandatanganan kontrak dan transaksi finansial yang rumit. Mereka juga menjatuhkan sanksi terhadap asuransi kargo.

Intinya, mereka tak memberlakukan sanksi secara formal terhadap produknya, tapi mereka menciptakan situasi di mana lebih sulit sekarang untuk menyuplai produk-produk ke pasar asing.

Belarus merupakan pemimpin dalam suplai fertiliser. Namun, sanksi langsung dijatuhkan terhadap fertiliser Belarus. Bersama Belarus, Rusia memproduksi 25 persen fertiliser, dan 45 persen suplai ke pasar.

Lebih jauh, masalah ini sama sekali tak berkaitan dengan operasi militer kami di Donbas, Ukraina. Semua bermula setahun lalu dan dipicu kebijakan energi negara-negara Barat yang keliru.

Harga gas naik tajam akibat sejumlah kesalahan jelas di sektor energi, dan gas alam sangat umum digunakan untuk produksi fertiliser.

Dengan harga gas tinggi, banyak perusahaan terpaksa tutup karena secara ekonomi mustahil untuk memproduksi produk-produk berbasis gas.

Untuk pangan, karena negara-negara Barat berupaya meringankan dampak pandemi, mereka menggencarkan pengeluaran, membuat defisit bujet meningkat, dan memborong makanan dari pasar-pasar dunia dengan uang baru mereka. Itu jelas membuat harga pangan meningkat.

Contohnya, di masa lalu, Amerika Serikat memasok lebih banyak pangan ke pasar dunia ketimbang impor. Sekarang, mereka membeli US$17 miliar lebih banyak ketimbang menjual.

Mereka mencetak dan mendistribusikan uang, dan menggunakan dolar-dolar itu untuk membeli makanan. Itu membuat harga terus naik, dan negara berkembang terjebak di posisi yang buruk karena itu.

Kami sudah memperdebatkan masalah-masalah ini tanpa mereka. Kalian bisa berdebat semau kalian, tapi sekarang diperlukan tindakan sebelum situasi menjadi tragis.

Saya harap selama persiapan pertemuan G20, Anda juga bisa bekerja sama dengan kami, dengan negara-negara lainnya, dan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(has/bac)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER