Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, berkunjung ke Arab Saudi pada Jumat (15/7), menghangatkan kembali hubungan kedua negara yang selama ini sebenarnya mesra, tapi kerap diwarnai aksi ambek.
Kemesraan kedua negara sebenarnya sudah terlihat sejak awal kerajaan Saudi terbentuk puluhan tahun silam. Namun, di tengah kemulusan hubungan kedua negara, tetap ada kerikil yang beberapa kali muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah ketidakharmonisan ini dipicu berbagai konflik, mulai dari seteru Arab-Israel, serangan 11 September, hingga kebijakan Iran.
Namun, hubungan kedua negara ini sebetulnya vital. Saudi merupakan negara pengekspor minyak terbesar, sementara AS penjual senjata militer asing nomor satu di dunia.
Berikut pasang-surut hubungan Amerika Serikat dan Arab Saudi, sebagaimana dirangkum Reuters.
1931
Pada 1931, Amerika Serikat mengakui Kerajaan Hijaz dan Nejd. Setahun setelahnya, kerajaan itu berubah menjadi Arab Saudi.
1933
Arab Saudi memberikan izin eksplorasi minyak kepada Standard Oil of California, cabang dari perusahaan minyak Saudi. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi Aramco.
Pada 1950, Arab Saudi menegosiasikan kembali izin Aramco, yang bertujuan untuk menyedot lebih banyak pendapatan.
1945
Presiden AS saat itu, Franklin D. Roosevelt, bertemu Raja Saudi, Abdulaziz, di atas kapal USS Quincy di Terusan Suez. Ini menjadi tanda hubungan dekat kedua negara selama beberapa dekade.
1951
Saudi dan AS menyepakati Perjanjian Bantuan Pertahanan Bersama. Langkah ini membuka jalan bagi penjualan senjata AS.
1973
Saudi mengembargo minyak negara-negara Arab ke AS dan negara lain karena dukungan mereka terhadap Israel dalam perang 1973.
Harga minyak sudah lebih tinggi hampir empat kali lipat pada saat embargo dicabut pada 1974.
[Gambas:Video CNN]
1979
Berkat bantuan AS dan Pakistan, Saudi dapat membantu pendanaan pertempuran Afghanistan melawan okupasi Uni Soviet.
Banyak warga Saudi, termasuk Osama bin Laden, didanai dan bergabung dengan pejuang Afghanistan.
1980
Arab Saudi menyelesaikan pembelian 100 persen saham Aramco.
1990
Irak menginvasi Kuwait. Tahun berikutnya, pasukan pimpinan AS menggunakan pangkalan Saudi sebagai landasan peluncuran militer yang dikerahkan untuk membantu Kuwait.
Sebagian besar pasukan AS kemudian meninggalkan Riyadh, tapi masih banyak pula yang tetap tinggal.
1996
Sebuah bom truk menewaskan 19 tentara Washington di kompleks militer AS di Khobar. Ketua Al-Qaeda, Osama bin Laden, mendeklarasikan jihad melawan Amerika yang dianggap sudah mengokupasi Saudi.
Lanjut ke sebelah >>>
2001
Di tahun ini, Al-Qaeda membajak empat pesawat sipil. Dari 19 pembajak, 15 di antaranya merupakan warga Saudi.
Mereka kemudian secara sengaja menabrakkan dua pesawat ke menara World Trade Center di New York. Pesawat ketiga menabrak gedung Pentagon, dan yang keempat jatuh di Pennsylvania. Imbas insiden itu, sekitar 3.000 orang tewas
Namun, Saudi selalu membantah terkait atau mengetahui serangan tersebut. Klaim ini kemudian diperkuat dengan pernyataan salah satu komisi pemerintahan AS pada 2004 lalu, yang mengklaim tak menemukan bukti Saudi terlibat langsung dalam pendanaan kelompok teroris itu.
2003
AS menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal. Mereka lalu mengerahkan pasukan ke negara itu.
Arab Saudi melawan invasi AS di Irak. Negeri Paman Sam kemudian menarik semua pasukannya dari Saudi.
[Gambas:Photo CNN]
2011
Dunia Arab dikejutkan dengan pemberontakan. Arab Saudi khawatir Presiden AS, Barack Obama, dan Presiden Mesir, Hosni Mubarak, seolah abai atas peristiwa itu.
2013
Arab Saudi komplain soal kebijakan Amerika Serikat, termasuk pendekatan terhadap Iran dan Suriah.
Saat itu, AS terlibat dalam perang sipil di Suriah. Mereka disebut ingin menggulingkan Presiden Bashar al Assad.
2015
Negara-negara kuat dunia, termasuk AS, menjalin kesepakatan dengan Iran agar Teheran tak membuat senjata nuklir. Sebagai timbal balik, negara Barat mencabut sanksi atas Iran.
Saudi khawatir kesepakatan ini membuat Iran semakin kuat.
Di saat bersamaan, Yaman tengah menghadapi pemberontakan dari Houthi, kelompok yang dekat dengan Iran. Saudi lantas membantu Yaman melawan Houthi.
2018
Di tahun ini, hubungan Saudi dan AS kembali mesra. Ketika itu, Presiden Donald Trump menarik Washington dari Perjanjian Nuklir Iran yang terjalin pada 2015. Saudi menyambut langkah Trump tersebut.
Namun, di penghujung tahun ini, hubungan kedua negara tampak tegang. Pada November, AS mengecam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul.
Di tahun yang sama, AS menjadi produsen minyak terbesar di dunia.
2019
AS merilis laporan yang menunjukkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS), terlibat dalam kasus pembunuhan Khashoggi. Namun, Saudi membantah MbS terlibat di kasus ini.
Selain soal Khashoggi, Washington juga menyampaikan keprihatinan mereka kepada para korban yang tewas imbas serangan udara di Yaman.
Lebih jauh, Washington juga berusaha keras memblokir penjualan senjata Riyadh.
[Gambas:Video CNN]
2020
Di tahun ini, muncul tanda-tanda Saudi akan bergabung dalam Kesepakatan Abraham. Kesepakatan ini merupakan upaya Israel, yang dibantu AS, menormalisasi hubungan dengan negara Teluk.
2022
Pada Juni, Biden mengatakan Arab Saudi menunjukkan kepemimpinan yang berani dengan mendukung perpanjangan gencatan senjata di Yaman.
Di tengah harga minyak yang melonjak di tahun ini, Gedung Putih menyambut baik keputusan negara-negara OPEC+ untuk meningkatkan pasokan. Saudi merupakan salah satu anggota organisasi ini.
Di tahun ini pula, Washington mengumumkan kunjungan Biden ke Arab Saudi. Biden akan datang ke pertemuan internasional yang juga akan dihadiri MbS.
Gedung Putih kemudian menyatakan Biden akan mengadakan pembicaraan bilateral dengan Raja Salman dan tim pejabat lain, termasuk MbS.