Diah sendiri telah tinggal di Prancis sejak 1984. Menurutnya, Prancis sempat mengalami gelombang panas yang cukup parah pada 2003.
Namun saat itu, pemerintah dan masyarakat tak siap karena belum digembar-gemborkan isu pemanasan global.
"Jadi pada waktu itu kacau sekali, panik total. Ratusan ribu orang yang mati kekeringan. Panik sekali," kata Diah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, suhu kala itu masih lebih rendah ketimbang yang dia rasakan saat ini. Suhu pada pukul 17.00 waktu setempat di daerahnya mencapai 41 derajat Celsius pada Selasa.
"Pada waktu itu rasanya sih [suhunya] mungkin masih di bawah 40 derajat [Celsius], ya 38 derajat [Celsius]. Sudah luar biasa pada waktu itu. Itu panik, panik total," ucapnya.
Suhu tinggi yang terjadi saat ini, kata Diah, membuat orang lebih lemas dan malas untuk melakukan aktivitas.
"Mau keluar sedikit itu hambatannya tidak enak sekali gitu, apalagi kalo harus seperti tadi pagi saya ada meeting, saya harus ambil transportasi [umum]. Wah, itu kayaknya berat sekali. Berat, panas sekali rasanya, pengap gitu," katanya.
Diah juga sempat menggunakan kereta bawah tanah dan bus. Kedua mode transportasi tersebut sudah dilengkapi penyejuk udara, seperti jendela dan AC, tetapi rasa panas masih terus ia rasakan.
Menurut Diah, pemerintah setempat sebenarnya sudah lama memberikan imbauan, mengingat cuaca panas seperti ini sudah dirasakan sejak awal Juni lalu.
"Imbauan misalnya seperti kurangi keluar saat siang hari. Jadi kalau [melakukan] apapun dilakukan pagi hari sebisanya. Sering minum, terutama anak kecil, dan imbauan untuk rumah-rumah jompo," katanya.
"Disarankan banyak makan buah-buahan. Imbauan itu sudah dari terprediksinya gelombang panas ini."
Tak hanya itu, tempat-tempat penitipan anak hingga fasilitas olahraga serta kegiatan luar ruangan lainnya juga tutup.
(pwn/has)