Menurut jurnal International Addiction Review, Captagon bisa dijual antara US$10-25 per butir. Bila merujuk pada penyitaan teranyar pada Rabu (31/8) dan dianggap sebagai obat yang sama, maka nilai obat-obatan haram yang disita itu senilai US$1,1 miliar atau Rp16,3 triliun (US$1=Rp14.892).
Caroline Rose, analis senior dari New Lines Institute yang mempelajari perdagangan Captagon, mengatakan obat jenis amfetamin tersebut dicari karena dianggap sebagai pelarian pengguna menghadapi "kerawanan pangan dalam mencegah kelaparan,"
"Serta mendorong euforia yang disebut pengguna membantu mengatasi stres traumatis. Disebut pula, sifat yang sama dari Captagon itu dicari oleh pekerja asing di negara-negara Teluk yang kaya seperti Arab Saudi, guna mendorong performa kerja penggunanya," kata Rose.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sejumlah penelitian, penggunaan amfetamin populer di kalangan anak muda Arab Saudi. Sebuah studi pada 2021 di jurnal Crime, Law and Social Change menulis seorang pemuda menyebut temannya lebih suka Captagon dibanding ganja yang juga populer di negara itu.
"Setelah kami mendapatkan 25 riyal dari orang tua [kami], kami dapat membeli satu tablet dan menikmatinya." kata pemuda tersebut.
Rose pun menyebut di pasar konsumen yang lebih kaya, obat dari amfetamin punya daya tarik sebagai rekreasi. Apalagi kaum muda di Arab Saudi banyak merasa bosan karena "meluasnya pengangguran dan kekurangan hiburan".
"Beberapa konsumen menilai Captagon sebagai zat yang tak lagi tabu, dibandingkan dengan obat yang lebih kencang seperti opiat dan kokain," kata Rose.
Felbab-Brown pun menilai Arab Saudi perlu mendidik kaum mudanya agar tidak terjebak pada narkoba di tengah upaya melonggarkan bisnis hiburan negara itu oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Sejumlah pusat rehabilitasi pun telah bermunculan di berbagai penjuru Arab Saudi, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun swasta. Salah satu yang pertama dibuka adalah Qaweem.
"Kami sangat diminati, sayangnya," kata CEO Qaweem, Khalid Al Mashari. "Namun setidaknya orang punya pilihan sekarang dibanding harus ke negeri tetangga untuk berobat,"
Selain keberadaan rehabilitasi, Felbab-Brown mengatakan kebijakan melawan narkoba mestinya lebih ke arah edukasi dan preventif, alih-alih mengeraskan hukuman.
"Tidak seperti sebagian besar dunia [yang] telah meninggalkan kebijakan kontraproduktif yang kaku dan sebagian besar tidak efektif atau langsung, Timur Tengah sering menggandakannya," katanya. "Memenjarakan pengguna tidak efektif dan kontraproduktif."
(cnn/end)