Merespons serangan tersebut, pemerintah Israel lalu mengizinkan pembangunan tembok pembatas di sekeliling Tepi Barat pada 2002, meski menuai pertentangan dari Pengadilan Internasional dan Pengadilan Kejahatan Internasional.
Pada 2013, Amerika Serikat berupaya melanjutkan proses perdamaian antara pemerintah Israel dan Pihak Berwenang Palestina di Tepi Barat.
Namun, upaya tersebut terhambat usai partai berkuasa Palestina, Fatah, membangun pemerintahan yang bersatu dengan faksi oposisi yakni Hamas pada 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hamas merupakan cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir yang dibentuk pada 1987. Hamas merupakan salah satu partai politik terbesar di Palestina, tetapi dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS pada 1997.
Pada musim panas 2014, bentrok antara militer Israel dan Hamas berlangsung. Hamas mengirim hampir 3.000 roket ke Israel, dan dibalas Israel dengan serangan ofensif di Gaza.
Bentrok ini berakhir pada akhir Agustus 2014 lewat kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir. Namun, sebanyak 73 warga Israel dan 2.251 warga Palestina terbunuh dari konflik tersebut.
Meski begitu, gelombang kekerasan terus terjadi dalam kubu Israel dan Palestina. Ini membuat Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan negaranya tak lagi mengikuti pembagian wilayah sesuai Kesepakatan Oslo pada 2015.
Pada Maret dan Mei 2018, warga Palestina di Tepi Gaza melakukan demonstrasi mingguan. Protes terakhir mereka kala itu terjadi bersamaan dengan perayaan 70 tahun Nakba, sebutan bagi exodus warga Palestina usai Israel merdeka.
Berdasarkan keterangan PBB, sebanyak 183 pedemo terbunuh dan lebih dari 6.000 orang terluka akibat terkena amunisi langsung.
Selain itu, pertempuran juga terjadi antara kelompok Hamas dan militer Israel pada Mei 2018. Militan di Gaza meluncurkan lebih dari 100 roket ke Israel.
Israel lalu meresponsnya dengan melakukan serangan ke lebih dari 50 target di Gaza selama 24 jam.
Kisruh Israel-Palestina diperparah dengan keputusan pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump yang memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan ini didukung Israel, tetapi dikecam oleh pemimpin Palestina dan sejumlah pemimpin Timur Tengah dan Eropa.
Israel mengklaim seluruh wilayah Yerusalem sebagai ibu kota mereka, sementara Palestina mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina di masa depan.
Tak hanya itu, pada Agustus dan September 2020, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain setuju menormalisasi hubungan mereka dengan Israel. Normalisasi itu dinaungi dalam Kesepakatan Abraham yang diprakarsai oleh AS.
Namun, kesepakatan itu ditolak oleh pemimpin Palestina Mahmoud Abbad dan pihak Hamas.